THE SELF DAN FRUSTSI
OLEH:
MASYITAH
NUR AZIZAH
RAHMALIA
RISNA MAULIZA
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI............................................................................................................. 1
BAB
I PENDAHULUAN......................................................................................... 2
BAB
II THE SELF DAN FRUSTASI....................................................................... 3
A. The Self.................................................................................................................... 3
B. Kegunaan The Self bagi seseorang........................................................................….
4
C. Frustasi
D. Rintangan-rintangan yang dapat
menimbulkan Frustasi
E. Reaksi-reaksi yang mungkin timbul karena
adanya Frustasi
F. Pendidikan dan Frustasi
G. Sikap Pendidik
BAB
III KESIMPULAN.......................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki perasaan
tentang dirinya, seperti seseorang merasa pintar dari orang lain, lebih tahu, merasa
cantik, merasa kaya, dan lain sebagainya, walaupun sebenarnya masih ada banyak
orang yang lebih pintar, lebih cantik, dan lebih kaya dari dirinya. Perasaan
tersebut memang terdapat pada setiap orang, itulah yang disebut dengan “Aku”
atau “The self”.
Sepanjang masa perkembangan dari
lahir hingga dewasa, kebutuhan-kebutuhan seseorang tidak selalu dapat terpenuhi
dengan lancar. Seringkali terjadi hambatan dalam pemuasan suatu kebutuhan,
motif, dan keinginan. Keadaan terhambat dalam mencapai suatu tujuan dinamakan
frustasi. Keadaan frustasi yang berlangsung terlalu lama dan tidak dapat
diatasi oleh seseorang akan menimbulkan stress.
Frustasi
dapat bersumber pada hambatan yang terjadi diluar diri, maupun dalam diri
seseorang. Hambatan dari luar misalnya cuaca mendung tak memungkinkan untuk
menjemur kain. Hambatan dari dalam contohnya seseorang yang ingin mendekati
wanita cantik terhambat oleh perasaan takutnya.
BAB II
THE SELF DAN
FRUSTASI
A. Pengertian The
Self
Kalau kita perhatikan dalam
pergaulan kita sehari-hari terlihat jelas bahwa setiap manusia mempunyai
anggapan dan perasaan-perasaan tentang dirinya sendiri. Seorang mungkin merasa
bahwa dia adalah sebagai pemain bola yang baik, seorang gadis merasa atau
menggangap bahwa dirinya bunga yang terindah diantara teman-teman
sekelompoknya, atau merasa paling sesuai untuk memegang perasaan tertentu. Anggapan dan perasaan-perasaan yang ada
pada tiap-tiap orang tentang dirinya sendiri ini, disadari maupun tidak
disadari. Sebagaimana
seseorang mengganggap atau merasakan tentang dirinya sendiri itulah yang
disebut dengan the self. Jadi perkataan the self berarti
meliputi semua penghayatan, anggapan, sikap, dan perasaan-perasaan, baik yang
disadari maupun yang tidak disadari, yang ada pada seseorang tentang dirinya
sendiri.
Perasaan the self tumbuh
karena ada interaksi antara bawaan dan lingkungan yang terjadi secara
terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Seseorang terbentuk bila ia sudah
dapat membedakan dirinya, keinginannya, dengan apa yang merupakan kenyataan, yang
ada di luar dirinya.[1]
The self yang ada pada tiap-tiap manusia itu mengandung dua hal :
a.
The self picture,
yakni menghayati dan perasaan-perasaan seseorang tentang dirinya sendiri yang
disadari
b.
Perasaan-perasaan dan sifat-sifat seseorang tentang dirinya sendiri
yang tidak disadari. Tentu saja diantara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan
(benar-benar disadari, agak disadari, kurang disadari, dan tidak disadari).
Ada tiga kemungkinan mengapa kita
memiliki anggapan dan perasaan-perasaan tentang diri kita sendiri yang tidak
disadari.
1. mungkin kita memang benar-benar tidak dapat menyadari (menjadi sadar) beberapa
bagian daripada nya.
2. beberapa faktor tentang kita mungkin sedemikian rumitnya bagi kita, sehingga
sukar atau tidak mungkin bagi kita untuk mempercayai/mengetahuinya.
3. beberapa faktor tentang kita tidak sesuai bagi self picture atau
diluar yang kita kehendaki untuk dipercaya, sehingga dengan demikian kita
menekankannya kedalam ketidak sadaran kita.
B. Kegunaan The
Self Bagi Seseorang
The self sangat berguna bagi tiap-tiap orang yang bersangkutan. Tentu saja
baik buruk nya atau berguna tidak nya the self itu bagi orang yang
bersangkutan tergantung kepada sesuai atau tidaknya the self itu dengan
yang sebenarnya dari diri orang itu. Makin sesuai the self dengan
keadaan diri yang sebenarnya, makin mudah orang itu untuk berinteraksi dengan
lingkungannya, terutama dalam pergaulannya dengan orang-orang lain. Sebaliknya,
makin berbeda the self dengan keadaan (siapa, apa, dan bagaimana)
sebenarnya diri orang itu, makin menyulitkan pergaulan dan kehidupannya. The
self yang ada pada tiap-tiap orang
dapat dijadikan ukuran bagaimana perasaan harga diri orang itu, bagaimana
dan sampai dimana ia menilai dan memandang dirinya.
Dari pengalaman, kita mengetahui bahwa
tiap-tiap orang jika mendapat serangan dari orang lain seperti dihina, dimarahi,
dan sebagainya, mudah sakit hati atau tersinggung perasaannya, meskipun dia
perlihatkan dengan nyata atau tidak. Sebaliknya, jika seseorang disanjung atau
dipuja ia akan merasa senang dan bangga. Demikianlah, sebagian waktu dan tenaga
kita pada umumnya digunakan untuk mempertahankan dan memuaskan the self.
Kita melindungi diri, mempertahankan diri kita dari kemungkinan kehilangan penghargaan/kehormatan
dalam pandangan kita sendiri, dan usaha membuat diri kita terpuji dan
dihormati.
Usaha-usaha yang mungkin dilakukan
seseorang untuk mempertahankan the self-nya. Menurut Sartain cara-cara
seseorang mempertahankan the self ada empat golongan.
a.
Dengan menyerang kepada sumber-sumber yang menyebabkan frustasi
Seseorang yang dihina oleh orang lain kemudian melawan atau
berkelahi dengan orang yang menghinanya. Seorang anak meminta kue kepada ibunya
tetapi tidak diberi, kemudian memukul atau melempari ibunya, dan lain-lain.
b.
Dengan menghindarkan diri dari situasinya
Seseorang berhasrat main
bulu-tangkis. Akan tetapi ia mengetahui jika ia bermain, mungkin ia akan kalah
karena lawannya kuat, dan ia akan dicemoohkan atau turun nilainya dalam
pandangan orang lain. Untuk mempertahankan the self-nya ia berusaha agar
tidak jadi bermain.
c.
Dengan memperbaharui/mengubah lingkungan sekitarnya (situasinya)
Pengubahan lingkungan hanyalah dalam
angan-angan, pikiran dan persepsi penglihatannya tentang lingkungan itu. Contoh
autisme, yakni kecenderungan dari perasaan-perasaan dan emosi-emosi kita untuk
memutarbalikkan proses-proses intelektual kita. Dengan kata lain autisme adalah
tingkah laku yang menunjukkan kecenderungan untuk melihat apa yang ingin kita
lihat, dan mempercayainya.
Autisme
terjadi secara tidak disadari. Dengan demikian kita dipengaruhi oleh
perasaan-perasaan kita untuk mempercayai sesuatu, meskipun kenyataannya tidak
demikian.
Contoh
seseorang pergi melihat permainan bola kaki antara dua kesebelasan yang telah
terkenal keunggulannya. Orang tersebut sebenarnya termasuk anggota dari salah
satu kesebelasan itu tetapi tidak turut bermain. Permainan berlangsung sangat gencar, dan kedua kesebelasan
serang-menyerang silih berganti. Karena banyak terjadi pelanggaran dan
kecurangan-kecurangan, wasit berkali-kali membunyikan peluitnya.
Secara tidak
sadar, ia ingin melihat apa yang sebenarnya ia inginkan, yakni agar
kesebelasannya menang. Karena motif yang ada dalam dirinya tidak disadari, maka
bagaimanapun objektifnya tindakan wasit tersebut terhadap kedua kesebelasan itu
dia akan menganggap wasit tersebut bertindak berat sebelah atau tidak adil,
apalagi jika kesebelasannya ternyata kalah.
d.
Dengan membangun kembali “the self”
Tidak jarang kita menilai dan
memandang diri kita yang sebenarnya tidak sesuai dengan diri kita yang
sesungguhnya, the self kita tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya.
Pada saat-saat tertentu hal yang demikian mungkin menyebabkan kita mengalami
ketidakpuasan atau tersinggung the
self. Untuk mempertahankan atau memuaskan the self itu, boleh jadi
kita terpaksa harus mengubah pandangan kita terhadap diri kita sendiri,
mengadakan reevaluasi terhadap diri kita sendiri.
C. Frustasi
Menurut aliran ilmu jiwa modern
dinyatakan bahwa didalam diri manusia itu terdapat dorongan-dorongan batin yang
dapat mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan manusia.
Frustasi sebenarnya adalah keadaan
batin seseorang, ketidak seimbangan dalam jiwa, suatu perasaan tidak puas
karena hasrat tidak terpenuhi. (frustration=kekecewaan). Kita tahu bahwa
agresi itu timbul karena adanya frustasi. Tetapi tidak semua frustasi
menimbulkan agresi pada seseorang.
Menurut aliran ilmu jiwa modern
dikatakan bahwa didalam diri manusia itu terdapat dorongan-dorongan batin yang
dapat mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan manusia.[2]
D. Rintangan-rintangan
yang dapat menimbulkan Frustasi
Frustasi itu dapat terjadi bila
hasrat batin yang kuat tidak dapat terpenuhi, biar pun orang itu telah berusaha
keras.
Woodworth dalam bukunya psychology
mengemukakan bahwa rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan frustasi itu
dapat dibagi menjadi 4 golongan:
a.
Rintangan-rintangan yang bukan manusia
Contoh: seorang kusir (sais) ingin cepat-cepat mengemudikan
delmannya menuju ke stasiun kereta api untuk mengambil penumpang turun dari
kereta api cepat yang sebentar lagi datang. Tiba-tiba ditengah-tengah jalan
kudanya mogok tidak mau laju karena kelelahan dan lapar. Lama sang sais berusaha mencambuki kudanya
dengan maksud supaya lekas lari, tetapi sia-sia belaka.
Sambil bersungut-sungut dan marah
dipukulinya kudanya sekuat-kuatnya, tetapi hasilnya tidak ada. Sementara itu kereta api cepat telah tiba di stasiun.
b.
Rintangan-rintangan yang disebabkan orang lain
Frustasi yang disebabkan oleh seseorang pada umumnya lebih
mengganggu atau lebih terasa daripada yang disebabkan oleh sesuatu yang bukan
manusia. Mungkin karena seseorang itu lebih dapat mengeluarkan pendapatnya, dan
lebih dapat merasakan daripada benda tidak berjiwa.
c.
Pertentangan antara motif-motif positif yang terdapat dalam diri
orang itu.
Contoh: seorang gadis mempunyai
keinginan untuk pergi ke suatu pesta dansa. Tetapi pada malam itu juga ia
berhasrat menyenangkan ibunya yang sangat dicintainya, yang sebenarnya tidak
menyukai kepergiannya ke pesta itu. Jika kedua motif itu sama kuat dan
seimbang.
d.
Pertentangan antara motif positif dan motif negatif yang terdapat
dalam diri orang itu
Motif-motif negatif yang biasanya
menimbulkan pertentangan dalam diri seseorang untuk mencapai satu tujuan (motif
positif) antara lain ialah: kemalasan, takut akan hukuman, merasa bersalah atau
berdosa.
Contoh seseorang menginginkan agar
halaman sekitar rumahnya menjadi bersih dan teratur, sehingga tamu-tamu yang
datang kerumahnya akan merasa senang dan memujinya. Seluruh keluarganya pun
akan gembira karena anaknya dapat bermain-main dengan bebas, terhindar dari
kecelakaan-kecelakaan dan penyakit. Tetapi karena kemalasannya itu, halaman
yang kotor dan rumput yang sudah hampir menjalar ke rumah itu tetap
dibiarkannya.
E. Reaksi-reaksi
yang mungkin timbul karena adanya Frustasi
Frustasi itu
dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam, berlainan pada setiap orang. Hal ini bergantung kepada tabiat dan temperamen masing-masing dan
bergantung pula kepada keadaan tiap orang yang memang tidak sama.
Reaksi-reaksi yang menimbulkan frustasi yaitu:
a.
Agresi
Sering kali frustasi itu menimbulkan
agresi, yaitu reaksi menentang atau suatu serangan yang bersifat langsung dan tidak
langsung. Reaksi agresi banyak kita jumpai pada kehidupan kanak-kanak, karena
kanak-kanak itu umumnya masih sangat dipengaruhi oleh perasaannya yang
subyektif.
Orang-orang mengalami frustasi
apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginan yang diperjuangkan dengan
intensif mengalami hambatan atau kegagalan. Sebagai akibat dari frustasi itu
mungkin timbul perasaan-perasaan jengkel atau perasaan-perasaan agresif.
Perasaan-perasaan agresif ini
kadang-kadang dapat disalurkan kepada usaha yang positif, tetapi kerap kali
perasaan tersebut meluap-luap dan mencari outlet-nya, jalan keluarnya,
sampai dipuaskannya dengan tindakan-tindakan yang agresi. Apabila seseorang
secara pribadi mengalami frustasi yang ingin dipuaskannya secara agresif ia
mungkin menendang kursinya atau memperlihatkan kejengkelannya dengan cara lain.
Tetapi apabila segolongan orang mengalami frustasi tertentu yang menimbulkan agresi,
maka dengan mudah sekali perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada
segolongan lain yang di persangkainya.[3]
b.
Mengundurkan diri
Agresi ada juga pada reaksi berikut:
Ketika pulang dari sekolah, Aminah
melihat sepiring kue yang terletak diatas meja. Waktu itu pula ia melihat
adiknya si Tuti yang berumur 2 tahun sedang merengek-rengek memukuli ibunya,
karena meminta kue itu, tetapi ibunya tidak memberi. Ibu akan membagi kue itu
sesudah anak-anak semua sudah selesai makan siang. Sebenarnya si Aminah ingin
sekali memakan kue itu, dan ingin lekas-lekas mengecapnya. Tetapi ia tidak
berani memintanya. Dengan hati yang kecewa karena keinginannya belum
terkabulkan, ia keluar bermain-main di belakang rumahnya. Reaksi yang timbul
pada si Aminah disebut reaksi mengundurkan diri. Ia tidak berani memaksa
keinginannya itu kepada ibunya, ia tidak berdaya mencapai keinginannya itu. Reaksi
mengundurkan diri ini tidak hanya terdapat pada anak-anak, tetapi juga pada
orang dewasa.
c.
Regresi
Kadang-kadang frustasi itu dapat
menimbulkan reaksi sebagai berikut: Si Ardi duduk dikelas VI SD. Pada suatu
hari ia meminta uang kepada ibunya untuk membeli layang-layang, tetapi tidak
diberi. Mula-mula si Ardi merengek-rengek terus kepada ibunya, tetapi tetap
tidak diberi uang. Lama kelamaan makin keras tangisnya dan ia berguling-guling
menangis didepan ibunya, dengan maksud supaya ibunya merasa kasihan dan segera
memberinya uang. Perbuatan si Ardi sudah tidak pantas lagi bagi anak yang
berumur 10 tahun. Perbuatan demikian adalah perbuatan anak yang berumur 3
tahun. Jadi kelakuan si Ardi itu sebenarnya menunjukkan suatu kemunduran,
ditinjau dari perkembangan jiwanya menurut umurnya. Reaksi itu dinamakan dengan
regresi atau kemunduran.
d.
Fiksasi (fixsation)
Dalam usahanya menghadapi kegagalan-kegagalan
seseorang kadang-kadang tergelincir kedalam ulangan tingkah laku yang
begitu-begitu juga (tetap) sehingga tidak sampai kepada pemecahan masalah yang
dihadapinya. Reaksi demikian terlihat pada eksperimen-eksperimen yang dilakukan
terhadap binatang-binatang, dan terlihat pada tindakan-tindakan terpaksa pada
orang-orang yang malajusted (bertindak salah) seperti, orang yang
mempunyai cacat atau kebiasaan tertentu disuruh mengubahnya tetapi tidak dapat.
Reaksi-reaksi terhadap frustasi yang
bersifat primitive seperti diatas tidak dipelajari melalui
pengalaman-pengalaman, melainkan merupakan reaksi individu yang bersifat alami
(natural reaction) terhadap pernyataan frustasinya. Tentu saja
belajar dapat mengubah tingkah laku frustasi tersebut jika diikuti oleh
beberapa penguatan atau bantuan, terutama kemauan.
e.
Represi
Ada frustasi yang dapat menimbulkan reaksi mengundurkan diri.
Tetapi tidak semua frustasi dapat dihilangkan dengan cara demikian. Ada kalanya
frustasi itu berlangsung lama dan berkali-kali timbul.
Jika reaksi “mengundurkan diri” itu
terus-menerus dilakukan setiap kali timbul frustasi, mungkin ia akan dapat
melupakan sehingga ia melupakannya. Menurut pendapat ahli psikoanalisis,
keinginan-keinginan atau dorongan yang telah menimbulkan frustasi itu telah
didesak masuk ke dalam ketidak sadaran. Reaksi demikian disebut represi, yang
berarti juga pendesakan. Tetapi sesungguhnya frustasi itu belum dapat hilang
seluruhnya, karena keinginan-keinginan yang telah didesakkan itu tetap hidup didalam
kesadarannya.
f.
Gangguan psikosomatis
Telah dikatakan bahwa reaksi
represif itu belum tentu dapat menghilangkan frustasi. Keinginan-keinginan dan
pengalaman-pengalaman yang telah terdesak kedalam ketidaksadaran itu masih
tetap hidup dan sewaktu-waktu dapat keluar berupa mimpi-mimpi atau berubah
menjadi suatu penyakit. Yaitu penyakit jasmani yang disebabkan karena gangguan
jiwa, psikomatis; seperti pingsang, penyakit histeri dan sebagainya.
Sebagai contoh pengalaman penulis
sendiri. “Pada suatu hari di suatu sekolah lanjutan kelas tertinggi ada seorang
anak perempuan yang pingsang mendadak. Seorang guru pendidikan jasmani dan
seorang ilmu hayat yang sedikit banyaknya sudah mengetahui soal penyakit
tersebut, datang menolongnya. Berbagai akal dan usaha dilakukan untuk
menyembuhkan dan menyadarkan anak tersebut, tetapi usahanya itu sia-sia belaka.
Anak perempuan itu tetap dalam keadaan tidak sadar, dan sekali-kali keluar
kata-kata dari mulutnya yang tidak begitu jelas apa arti dan maksudnya.
Anak
perempuan tersebut adalah anak kelas tinggi yang sebentar lagi akan menempuh
ujian penghabisan. Dirumahnya ia selalu menderita tekanan jiwa yang disebabkan
perlakuan orang tuanya. Banyak kata-kata dan kemauan orang tuanya yang
bertentangan dengan keinginannya dipaksakan kepada anak itu. Perasaan tidak
puas (frustasi) ini telah lama dipendam didalam hatinya. Tambahan pula diwaktu
ia sedang berusaha belajar keras untuk menghadapi ujian penghabisan.
Singkatnya, penyakit yang diderita anak perempuan itu sebenarnya adalah reaksi
yang tidak disadari terhadap frustasi yang telah lama dialaminya.
g.
Rasionalisis
Seseorang telah gagal dalam mencapai
maksudnya. Karena kegagalannya itu timbullah dalam pikirannya (rasionya) suatu
pertanyaan, mengapa ia sampai gagal. Biasanya dengan hal yang demikian orang
lebih suka mencari sebab-sebab kegagalannya dengan meletakkan kesalahan kepada
orang lain atau pada suatu yang dianggap ada hubungannya, daripada mencari
kesalahan dalam dirinya. Umpamanya, seseorang gagal dalam mengerjakan suatu
tugas, kemudian ia berkata bahwa pekerjaan itu terlalu berat atau terlalu
sulit. Mungkin juga ia mengatakan bahwa orang lain curang, tidak dapat bekerja
sama dan lain-lain.
Kata-kata yang dilemparkannya kepada
orang lain untuk menutupi kegagalan itu dapat juga menjalar menjadi perdebatan
atau permusuhan, sehingga menyebabkan orang lain marah atau hilaf. Juga
biasanya seseorang yang mengalami kegagalan itu berusaha menyelamatkan dirinya
dan mempertahankannya dengan menggunakan keterangan-keterangan yang memuaskan
bagi dirinya, yang mungkin juga memang benar, seperti dengan mengatakan,
Pekerjaan itu memang baik tetapi hal itu tidak termasuk tugas saya dan tidak
ada kepentingan bagi diri saya. Jadi biarpun gagal (tidak dapat), saya tidak
merasa kecewa dan saya masih dapat bergembira, atau ah, tentang kelupaan
saudara mengundang kami ketika saudara berhajat menyunati anak saudara, itu
tidak jadi apa. Setelah kami mendengar bahwa hajatan saudara itu berlangsung
dengan lancar dan selamat, itu sudah menyenangkan hati kami.
h.
Proyeksi (projection)
Proyeksi adalah kebalikan dari
identifikasi, yakni bukan kita menjadi dia, tetapi dia menjadi kita. Proses ini
sering tidak disadari. Dalam arti bahwa orang yang bersangkutan mengutuk kesalahan-kesalahan
pada diri orang lain yang sebenarnya merupakan kelemahan-kelemahan sendiri,
seperti: saya tidak salah dan saya tidak benci, saya tidak marah pada
orang-orang itu, melainkan merekalah yang membenci saya.
i.
Sublimasi
Didalam reaksi ini terdapat suatu usaha
untuk melepaskan diri dari kegagalan dan ketidakpuasan dengan jalan mencari
kemungkinan yang lebih baik dalam mencapai tujuan. Bahkan kalau perlu dengan
jalan mengubah tujuan yang sama sekali berbeda dengan tujuan menimbulkan
frustasi.
Sebagai contoh, seorang pemuda jatuh
cinta kepada seorang gadis, tetapi tidak tercapai keinginannya karena tidak
disetujui oleh gadis harapannya, dapat mengalihkan tujuannya dengan cara
menulis karangan-karangan atau syair pemujaan mengenai si gadis, dan lain-lain,
sehingga mungkin menjadi seorang seniman yang ternama.
Seorang gadis yang patah hati dan
putus asa karena percintaan yang gagal yang pernah dialaminya, mungkin dapat
menghilangkan ketegangan jiwa dan keputus-asannya dengan jalan memasuki jabatan sebagai perawat di rumah
sakit atau sebagai pengaruh anak-anak yatim piatu.
Para ahli psikoanalisis yang
mula-mula (Freud dan kawan-kawannya) berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan
seni memang merupakan sublimasi (penyaluran jiwa) dari suatu frustasi yang
disebabkan Karena dorongan nafsu seksual.
j.
Kompensasi
Reaksi atas frustasi dapat juga
berupa suatu perbuatan yang disebut kompensasi. Kompensasi hampir bersamaan
dengan sublimasi, yakni penyaluran jiwa dengan jalan mengalihkan usaha ke arah
tujuan atau perbuatan lain, guna mencapai kepuasan. Tetapi terutama kompensasi
itu dilakukan oleh seseorang yang menderita perasaan kurang harga diri yang
disebabkan oleh cacat tubuh, kebodohan, kemiskinan, ketidak sanggupan mencapai
sesuatu.
k.
Berkhayal atau melamun (Fantasy or day dreaming)
Karena mengalami kegagalan dalam
usahanya, seseorang dapat mencari kepuasannya dalam fantasi atau berkhayal
sesuai dengan yang dicita-citakannya. Dengan berkhayal itu seolah-olah ia telah
mencapai apa yang diharapkannya. Hal dapat pula dilakukan dengan menonton
bioskob atau dengan menbaca cerita-cerita, kemudian ia mengidentifikasikan
dirinya dengan pelaku-pelaku dalam
bioskob atau cita-cita yang dia inginkan.[4]
F. Pendidikan dan
Frustasi
a.
Masyarakat dan Frustasi
Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk
sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia saling pengaruh-mempengaruhi,
tolong-menolong, dan bantu-membantu. Tiap-tiap manusia mempunyai peranan
masing-masing dalam masyarakat. Tiap-tiap orang sebagai anggota suatu
masyarakat harus mengetahui dan dapat menjalankan kewajibannya sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh masyarakat itu. Suatu masyarakat akan berjalan dan
berkembang biak jika tiap-tiap anggotanya dapat menyesuaikan diri dengan
masyarakat.
Penyesuaian diri itu bukan hal yang
mudah. Di dalam masyarakat terdapat golongan-golongan yang tertentu yang
berlainan jiwa, tugas dan kewajibannya. Ini adalah masalah sosiologis.
Yang perlu kita lakukan sekarang
adalah bagaimana usaha kita mendidik anak-anak agar bisa menyesuaikan diri
dalam masyarakat. Tujuan pendidik yang terpenting adalah memimpin perkembangan
anak menjadi manusia yang dapat hidup dalam masyarakat, mengetahui dan dapat
menjalankan kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Hal ini berarti bahwa
anak-anak harus kita didik supaya mematuhi dan menjalankan peraturan-paraturan
dan dapat menempatkan dirinya sesuai dengan peranan masing-masing dalam
masyarakat.
Menyesuaikan diri berarti menjumpai
dan mengalami bermacam-macam situasi yang penuh ketegangan-ketegangan atau
frustasi. Setiap orang ingin hidup bebas, hidup yang sesuai dengan keinginan
dan kemauan masing-masing. Peraturan-peraturan dan adat istiadat serta
kehidupan masyarakat seringkali bertentangan dengan kehendak setiap orang.
Biarpun demikian tidak seorang pun yang ingin hidup sendirian, hidup diluar
masyarakat.
b.
Sekolah dan Frustasi
Sejak anak itu dilahirkan dalam
lingkungan keluarga, banyak sekali hal-hal dan peraturan-peraturan yang tidak
menyenangkan baginya, yang bertentangan dengan kemauan dan keinginannya, tetapi
harus diterima dan dipatuhinya. Anak harus berkembang menjadi anggota
masyarakat. Karena itu, sejak kecil anak harus dibiasakan “menyesuaikan diri”
dalam masyarakat.
Menyesuaikan diri itu ternyata bukan
soal mudah, sebab menyesuaikan diri berarti berani mengahadapi bermacam-macam
situasi yang penuh dengan frustasi dan ketegangan-ketegangan.
Sekolah berkewajiban membantu anak
dalam hal “menyesuaikan diri” dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini sekolah
merupakan jembatan antara lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam menjalankan tugasnya, sekolah
hendaklah mengingat dan berpedoman kepada kehidupan anak sebelum masuk sekolah,
dan mengingat pula tuntutan-tuntutan masyarakat yang harus di jalankan anak
disekolah.
G. Sikap Pendidik
Ada orang yang berpendapat adalah
mendidikan anak hendaklah membiarkan pertumbuhan anak itu menurut alamnya.
Pendidik harus memberi kesempatan kepada anak untuk menuruti semua kehendaknya.
Dengan demikian si anak tidak mengalami frustasi dan dapat berkembang dengan
semestinya.
Sikap pendidik yang baik yaitu:
1.
Pendidik tidak boleh bersikap terlalu keras terhadap anak didiknya.
Dengan kekerasan dan paksaan, anak tidak akan dapat mematuhi
peraturan-peraturan karena banyak mengalami frustasi. Anak hanya menuruti
peraturan-peraturan itu Karena ketakutan bukan karena keinsafan dalam diri
sendiri. Sikap keras dan paksaan dapat pula menghasilkan yang sebaliknya, yakni
sikap menentang dan keras kepala.
2.
Sebaliknya sikap yang terlalu lunak dan lemah dari si pendidik
tidak dapat dibenarkan pula. Sikap demikian akan menyebabkan anak selalu
berbuat sehendak hatinya, tidak tahu dan tidak dapat mematuhi
peraturan-peraturan yang telah ditentukan. Ia bersifat membangkang. Ia tidak
berhasil menyesuaikan dirinya dalam masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
“Aku” atau “The self” adalah Setiap
manusia memiliki perasaan tentang dirinya, seperti seseorang merasa pintar dari
orang lain, lebih tahu, merasa cantik, merasa kaya, dan lain sebagainya,
walaupun sebenarnya masih ada orang yang lebih pintar, lebih cantik, dan lebih
kaya dari dirinya. Perasaan tersebut memang terdapat pada setiap orang, itulah
yang disebut dengan, sedangkan
Frustasi sebenarnya adalah keadaan
batin seseorang, ketidak seimbangan dalam jiwa, suatu perasaan tidak puas
karena hasrat tidak terpenuhi. (frustration=kekecewaan).
Gejala-gejala yang menimbulkan
frustasi seperti: Agresi, Mengundurkan diri, gegresi, fiksasi, proyeksi, kompensasi,
sublimasi, rasionalis, melamun (berkhayal).
DAFTAR
PUSTAKA
M. Ngalim
Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Rita Atkinson, Pengantar Psikologi, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2000.
Suparti Slamet, Pengantar Psikologi Klinis, Jakarta: Penerbit
UIP, 2003.
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,
Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006.