BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penulisan
Kiranya tidak dapat dipungkiri lagi,
bahwa problem-problem yang tercakup dalam pembahasan mengenai perkembangan
individu itu adalah sangat luas dan kompleks. Namun, untuk memudahkan persoalan
hal yang luas dan kompleks itu dapat juga kita sederhanakan. Kalau
disederhanakan, maka problematik yang menyangkut perkembangan individu itu
dapat kita golongkan menjadi tiga golongan, yaitu :
1)
Apakah perkembangan itu?
2)
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan itu?
3)
Bagaimanakah sifat-sifat individu pada masa-masa tertentu dalam
perkembangan tersebut?
Problem yang pertama berusaha
mencari jawab tentang inti atau hakikat perkembangan, problem yang kedua
berusaha mencari jawab mengenai persoalan tentang hal-hal yang mendasari
terjadinya perkembangan, sedangkan problem ketiga berusaha membuat pencandraan
(description) mengenai kehidupan individu (secara psikologis) selama
masa perkembangannya.
Kalau kita teliti buku-buku yang
membicarakan masalah ini, maka jawaban para ahli terhadap pertanyaan “apakah
perkembangan itu” adalah bermacam-macam sekali. Akan tetapi betapapun juga
berbeda-bedanya pendapat para ahli tersebut, namun semuanya mengakui bahwa
perkembangan itu adalah suatu perubahan; perubahan ke arah yang lebih maju,
lebih dewasa. Secara teknis, perubahan tersebut biasanya disebut proses. Jadi
pada garis besarnya para ahli sependapat, bahwa perkembangan itu adalah suatu
proses. Tetapi apabila persoalan kita lanjutkan dengan mempersoalkan proses
apa, maka disini kita dapatkan lagi bermacam-macam jawaban, yang pada pokoknya
berpangkal kepada pendirian masing-masing ahli. Pendapat atau konsepsi yang
bermacam-macam itu pada pokoknya dapat kita golongkan menjadi tiga golongan,
yaitu:
1)
Konsepsi-konsepsi para ahli yang mengikuti aliran asosiasi,
2)
Konsepsi-konsepsi para ahli yang mengikuti aliran Gestalt dan
Neo-Geostalt, dan
3)
Konsepsi-konsepsi para ahli yang mengikuti aliran sosiologisme.[1]
Persoalan mengenai faktor-faktor
apakah yang mempengaruhi perkembangan itu, atau kalau dirumuskan lebih luas
hal-hal apakah yang memungkinkan perkembangan itu, juga dijawab oleh para ahli
dengan jawaban yang bermacam-macam sekali. Untuk memudahkan persoalan juga
dapat dilakukan penyederhanaan. Pendapat yang bermacam-macam itu pada pokoknya
dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
1)
Pendapat ahli-ahli yang mengikuti aliran Nativisme,
2)
Pendapat ahli-ahli yang mengikuti aliran Empirisme, dan
3)
Pendapat ahli-ahli yang mengikuti aliran Kovergensi.[2]
Anak-anak didik kita selama masa
perkembangannya itu mempunyai kehidupan yang tidak statis, melainkan dinamis,
dan pendidikan yang diberikan kepada mereka haruslah disesuaikan dengan keadaan
kejiwaan anak-anak didik kita pada masa tertentu dalam perkembangan mereka itu.
Sudah barang tentu tidaka ada orang
yang menyangkal, bahwa perkembangan itu merupakan hal yang kontinu, akan tetapi
untuk dapat lebih mudah memahami dan mempersoalkannya biasanya orang
menggambarkan perkembangan itu dalam fase-fase atau periode-periode tertentu.
Masalah periodesasi ini biasanya juga merupakan masalah yang banyak
diperbincangkan oleh para ahli, pendapat mereka mengenai dasar-dasar mengapa
perlu dilakukan periodesasi itu juga bermacam-macam, akan tetapi umumnya para
ahli sependapat bahwa periodesasi itu dasarnya lebih bersifat teknis daripada
konseptional.
Pendapat para ahli mengenai
periodesasi itu sendiri juga bermacam-macam. Pendapat yang bermacam-macam itu
dapat pula digolong-golongkan menjadi tiga macam, yaitu:
1)
Periodesasi-periodesasi yang berdasar biologis,
2)
Periodesasi-periodesasi yang berdasar didaktis, dan
3)
Periodesasi-periodesasi yang berdasar psikologis.[3]
Pada pertemuan ini pemakalah akan
menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dalam
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nativisme (pembawaan)
Pembawaan adalah potensi-potensi
yang dibawa setiap individu ketika lahir yang merupakan warisan dari orang tua.
Para ahli yang beraliran nativisme berpendapat bahwa perkembangan individu itu
semata-mata ditentukan oleh unsur pembawaan. Jadi perkembangan individu
semata-mata tergantung kepada faktor dasar/pembawaan[4].
Aliran Nativisme bertolak dari Leibnitzian
Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor
lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang
sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap
pendidikan dan perkembangan anak. Hasil pendidikan tergantung pada pembawan,
Scopenhauer (filosof Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah
dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir
pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan
pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oeh anak didik itu
sendiri. ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik akan
menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak
didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri. Istilah nativisme
berasal dari kata natie yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme,
lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam
mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalau
anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya jika
anak mempunyai pembawaan baik maka dia akan menjadi orang baik. Pembawaan buruk
dan baik ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar.[5]
Aliran Nativisme dipelopori oleh
Arthur Schopenhauer (1778-1860), dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa bakat
mempunyai peranan yang penting. Tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat
anak memang jelek. Sehingga pendidikan diumpamakan ‘merubah emas jadi perak’
jadi suatu hal yang tidak mungkin.
Dengan demikian faktor lingkungan
atau pendidikan menurut aliran ini tidak bisa berbuat apa-apa dalam
mempengaruhi perkembangan seseorang. Dalam pendidikan ilmu aliran ini dikenal
sebagai aliran pedagogik pesivisme yaitu pendidikan yang tidak dapat
dipengaruhi perkembangan anak ke arah kedewasaan yang dikehendaki oleh pendidik[6].
Para ahli yang mengikuti pendirian
ini biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan menunjukkan berbagai
kesamaan atau kemiripan antara orang tua dan anak-anaknya. Misalnya kalau
ayahnya ahli musik maka kemungkinannya adalah besar anaknya juga akan menjadi
ahli musik, jika orang tua ahli melukis maka besar kemungkinan anaknya pun ahli
dalam melukis[7].
Mungkin penyusun disini bisa mengibaratkan seperti ‘buah jatuh tidak jauh
dari pohonnya’.
Kecuali apa yang telah dikemukakan
di atas itu, juga kalau dipandang dari segi ilmu pendidikan tidak dapat
dibenarkan, sebab jika benar segala sesuatu itu tergantung pada dasar, jadi
pengaruh lingkungan dan pendidikan dianggap tidak ada, maka konsekuensinya
harus kita tutup saja semua sekolah, sebab sekolah dianggap tidak mampu
mengubah anak yang membutuhkan pertolongan. Tidak perlu para ibu, guru, orang
tua mendidik anak-anak, karena hal itu tidak ada gunanya, tak dapat memperbaiki
keadaan yang sudah ada menurut dasar. Akan tetapi hal yang demikian itu justru
bertentangan dengan kenyataan yang kita hadapi, karena sudah ternyata sejak
zaman dahulu hingga sekarang orang berusaha mendidik generasi muda, karena
pendidikan itu adalah hal yang dapat, perlu, bahkan harus dilakukan. Jadi
konsepsi nativisme itu tidak dapat dipertahankan dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
B.
Empirisme (lingkungan)
Para ahli yang mengikuti pendirian
empirisme mempunyai pendapat yang bertentangan dengan pendapat aliran
nativisme. Jika pengikut-pengikut aliran nativisme berpendapat bahwa
perkembangan itu semata-mata tergantung pada faktor dasar, maka
pengikut-pengikut aliran emperisme berpendapat bahwa perkembangan semata-mata
bergantung kepada faktor lingkungan, sedang dasar tidak memainkan peranan sama sekali.[8]
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam
perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak bergantung kepada
lingkungannya, sedangkan peembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh
anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa
stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan
oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh perintis pandangan ini
adalah seorang filusuf ingris yang bernama John Locke (1704-1932) yang
mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas
putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan
berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan empirisme (biasa pula disebut
environmetalisme) pendidik memang penting, sebab pendidik dapat menyediakan
lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai
pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu tentunya yang sesuai dengan
tujuan pendidikan. Aliran empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya
mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan
kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan, menurut
kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena
berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Keberhasilan ini
disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri yang berupa
kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat
mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam dirinya. Meskipun
demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang
memandang manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpamanya
melalui modifikasi tingkah laku. Hal ini tercermin pada pandangan scientivic psychology dari B.F Skinner
ataupun pandangan behavioral (behaviorisme) lainnya. Behviorisme itu menjadikan
perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap
menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagi hasil belajar semata-mata.
Meskipun demikian, pandangan behavioral ini juga masih barvariasi dalam
menentukan faktor apakah yang paling utama dalam proses belajar itu.[9]
Apakah kiranya aliran empirisme ini
tahan uji? Jika sekirannya konsepsi ini memang benar, maka kita akan dapat
menciptakan manusia ideal sebagaimana kita yang kita inginkan dan kita harapkan,
namun kita harus menyediakan pula kondisi-kondisi menunjukkan hal yang berbeda
daripada yang kita gambarkan itu. Banyak anak-anak orang ekonomi bercukupan dan
anak-anak orang yang pandai mengecewakan orang tuanya karna tidak berhasil
dalam pendidikan, padahal mereka telah mendapatkan fasilitas –fasilitas yang sangat
berkecukupan. Namun sebaliknya, banyak juga anak-anak yang kurang mampu sangat
berhasil dalam pendidikan, walaupun fasilitas-fasilitas yang mereka butuhkan
itu sangat tidak mencukupi bahkan hampir tidak terpenuhi. Jadi, aliran empirisme
ini juga tidak tahan uji dan tidak dapat kita pertahankan.[10]
C. Konfergensi
Aliran ini dipelopori oleh William
Stem (1871-1938). Aliran ini mengakui kedua-duanya. Jadi pendidikan itu perlu
sekali, tetapi semua ini terbatas karena bakat daripada anak didik. Aliran ini
menjembatani atau menengahi kedua teori sebelumnya yang bersifat ekstrim yaitu
teori nativisme, sesuai dengan namanya
konvergensi yang artinya perpaduan, maka berarti teori ini tidak memihak bahkan
memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses
perkembangan[11].
Menurut Elizabeth B. Hurlock, baik
faktor kondisi internal maupun faktor kondisi eksternal akan dapat mempengaruhi
tempo/kecepatan dan sifat atau kualitas perkembangan seseorang. Tetapi sejauh
mana kedua faktor tersebut sukar untuk ditentukan, lebih-lebih lagi untuk
dibedakan mana yang penting dan kurang penting[12].
Faham konvergensi ini berpendapat,
bahwa di dalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan ataupun
lingkungan memainkan peranan perting. Realitas menunjukkan bahwa warisan yang
yang baik saja tanpa pengaruh lingkungan kependidikan yang baik tidak akan
dapat membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya, walaupun lingkungan
pendidikan itu baik, tidak akan menghasilkan kepribadian yang ideal juga. Bakat
sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu, akan tetapi bakat
yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat
berkembang. Misalnya: Tiap manusia yang normal memiliki bakat untuk berdiri
tegak atas kedua kaki, bakat ini tidak aktual (menjadi kenyataan) jika
sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
Anak yang semenjak kecilnya diasuh oleh monyet maka ia tidak akan berdiri tegak
diatas kedua kakinya, mungkin dia akan berjalan dia akan berjalan diatas tangan
dan kakinya (jadi seperti monyet)[13].
BAB III
KESIMPULAN
·
Nativisme adalah aliran yang berpendapat bahwa perkembangan
individu itu semata-mata di tentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak
lahir.
·
Tokoh utama aliran nativisme adalah Schopenhauer.
·
Empirisme adalah aliran yang berpendapat bahwa perkembangan itu
semata-mata tergantung pada faktor lingkungan.
·
Tokoh utama daripada aliran empirisme adalah John Locke.
·
Konvergensi adalah aliran yang berpendapat bahwa di dalam
perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan memainkan
peranan penting. Aliran ini menyatupadukan aliran nativisme dengan aliran
empirisme yang mana keduanya mempunyai ikatan yang sengat erat.
·
Aliran konvergensi dirumuskan secara baik pertama kali oleh W.
Stern.
DAFTAR PUSTAKA
Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, 2006.
Alisuf Sabri, Pengembangan
Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta : Penerbit Pedoman Ilmu Jaya,
1993.
Umar Tirtarardja, pengantar pendidikan, Jakarta : Penerbit Rineka
Cipta, 2005.
Amir
Dien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya : Penerbit Usaha
Nasional, 1973.
[1] Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, 2006), hal. 169-170.
[2] Ibid.,
hal. 176-177.
[3] Ibid.,
hal. 184-185.
[4] Alisuf
Sabri, Pengembangan Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta:Penerbit Pedoman
Ilmu Jaya, 1993), hal. 173.
[5]
Umar Tirtarardja, pengantar pendidikan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,
2005), hal. 196.
[6]
Amir Dien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya:Penerbit Usaha
Nasional, 1973), hal. 83.
[7] Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, …, hal. 185.
[9] Umar
Tirtarardja, pengantar pendidikan, …, hal. 194-195.
[10] Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, …, hal. 179.
[11]
Amir Dien Indrakusuma, Pengantar Ilmu, …, hal. 173.
[12]
Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, …, hal. 173.
[13]
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, …, hal. 188.