Perkembangan Tarekat Naqsyabandiayah di Aceh

Contoh Laporan Penilitian
Metlogo Penilitian

Perkembangan Tarekat Naqsyabandiayah di Aceh

Oleh:
Kelompok 4 || Unit 1
Chairil
Februarina Rizki
Muhammad Fauzan
Hijjah Raudhah












PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
T.A. 2013/2014


Perkembangan Tarekat Naqsyabandiayah di Aceh
Oleh: Kelompok 4 || Unit 1
Chairil || Februarina Rizki || Muhammad Fauzan || Hijjah Raudhah
Pemahaman masyarakat Aceh terhadap tarekat khususnya Tarekat Naqsyabandiyah mulai pudar. Hal ini tergambar oleh sikap masyarakat yang tidak peduli dengan hadirnya tarekat tersebut, terlebih lagi adanya tokoh yang memberanikan diri menyatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah yang diamalkan oleh pengikutnya merupakan kegiatan bid’ah dan semata-mata kesesatan belaka.[1] Disamping itu juga banyak dari kalangan pengikut Tarekat Naqsyabandiyah tidak paham terhadap hakikat ajaran, beserta sejarah perkembangannya. Masyarakat hanya memahami tarekat adalah suatu praktek spiritual yang dilakukan secara sembunyi-bunyi seperti salah satunya khalut, dan sebagian mereka bisa ikut-ikutan saja (Taqlid buta) sebagaimana yang telah mereka dapatkan dari guru-gurunya.
Berdasarkan permasalahan di atas menggerakkan hati kami untuk membahas  tentang perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, karena kami meninjau Negeri Iskandar Muda ini merupakan salah satu provinsi yang paling banyak pengikutnya dan penyebarannya yang begitu pesat.[2] Dengan demikian hadirnya paper ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam kepada masyarakat khususnya masyarakat Aceh tentang asal-usul Tarekat Naqsyabandiyah beserta ritual dan teknik spritualnya.
Dilatarbelakangi oleh permasalahan diatas, maka kami merumuskan masalah sebagai berikut: Apa itu Tarekat Naqsybandiyah dan kapan serta siapa tokoh yang membawanya hingga sampai ke Aceh, serta bagaimana ritual dan teknik spritualnya. Adapun usaha untuk menjawab rumusan masalah tersebut kami menggunakan metodologi diskriptif analitis yang banyak mengkaji buku-buku beserta kitab pegangan Tarekat Naqsyabandiyah sendiri. Selain itu kami juga menggunakan metodologi deskriptif dengan cara wawancara dan pengamatan sebagai penjelas tentang ritual dan teknik didalam tarekat tersebut.
Hasil sementara pengamatan kami bahwasanya Tarekat Naqsyabandiyah merupakan aliran tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah yang pertama kali muncul di Asia Tengah pada abad ke-14 dan sampai ke Aceh pada tahun 1940 oleh seorang sufi terkenal dengan berbagai amalan yang diajarkan kepada masyarakat. Kemudian ritual dan teknik Tarekat Naqsyabandiyah ini bervariasi sesuai dengan zaman dan tempat.

Pengertian Tarekat Naqsyabandiyah
Kata tarekat diambil dari Bahasa Arab “tarekat” (طريقة) menurut bahasa artinya “jalan”, “garis”, “kedudukan”, “keyakinan” dan “agama”.[3] Dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir kata tarekat berarti kaifiyat artinya “cara”.[4] Sedangkan Naqsyabandiyah  menurut Syaikh Najmuddin Amin Al-Qurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub” berasal dari kata Bahasa Arab, “naqsyi” (نقش) dan “band” (بند)  “naqsy” artinya ukiran atau gambar yang dicap pada sebatang lilin atau benda lainnya dan “band” artinya bendera dan layar besar. Jadi, Naqsyabandi artinya ukiran atau gambar yang terlukis pada suatu benda melekat tidak berpisah lagi, seperti tertera pada sebuah bendera atau spanduk besar. Dinamakan Naqsyabandiyah karena Syaikh Bahauddin pendiri tarekat ini senantiasa berzikir mengingat Allah berkepanjangan, sehingga lafadz Allah itu terukir melekat ketat dalam hatinyanya.   
Tarekat berarti jugaالحط فى الشئ   artinya “garis pada sesuatu”. Al- Laits menyatakan “tarekat” ialah tiap garis di atas tanah atau jenis pakaian, atau pakaian yang koyak-koyak. Adapun “ tarekat” menurut istilah ulama tasawuf ialah jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu tauhid, fiqih, dan tasawuf dan cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu tujuan.[5] Berdasarkan beberapa definisi yang disebutkan diatas, jelas bahwa tarekat adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengamalkan tauhid, fiqih, dan tasawuf.
Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisy al-Bukhari Naqsyabandiyah (717 H/1318M - 791 H/1389 M) dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.[6] Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syaikh yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira.
Naqsyabandi belajar tasawuf  kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w.772/1371). Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif  bernama al-Dikkirani selama sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand pada tahun 748/1347 M, ia pergi ke Ziwartun. Di sana ia menggembalakan binatang ternak selama 7 tahun, dan 7 tahun berikutnya dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.[7]
Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan dan India. Di Asia Tengah bukan hanya di kota-kota penting, melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai zawiyah (padepokan sufi) dan rumah peristirahatan Naqsyabandiyah sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang semarak.[8]
Bahaudin Naqsyabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan aktivitas dan penyebaran tarekatnya mempunyai 3 orang khalifah utama, yakni Ya’kub Charki, ‘Ala al-Din ‘Aththar dan Muhammad Parsa. Masing-masing kalifah tersebut mempunyai seorang atau beberapa orang khalifah lagi. Guru yang paling menonjol dari angkatan selanjutnya yang berasal dari khalifah Ya’kub Charki adalah Khwaja ‘Ubaidillah Ahrar (806-896 H/1403-1490 M). Dalam penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah ia berjasa dalam menetapkan sebuah pola yang banyak diadopsi oleh banyak syaikh-syaikh Naqsyabandi selanjutnya, yaitu menjalin hubungan akrab dengan kalangan istana, dalam hal ini Pangeran Abu Sa’id sebagai penguasa dinasti Timurid di Herat (Afganistan). Sebagai kompensasi atas dukungan politiknya kepada penguasa ini, ‘Ubaidillah mendapat kekuasaan politik yang luas jangkauannya. Berkat situasi dan pengaruh yang besar dari ‘Ubaidilllah ini, kemudian Tarekat Naqsyabandiyah ini pertama kali menyebar ke luar Asia Tengah. Ia mengangkat sejumlah besar khalifah untuk diutus ke negeri-negeri islam lain: Qazwin, Ishfahan, dan Tabriz di Iran, dan bahkan sampai ke Istanbul.[9]
Tokoh lain yang juga mempunyai peran besar dalam penyebaran tarekat ini secara geografis adalah Sa’id al-Din Kashghari. Ia bertempat tinggal di Herat ibu kota kekaisaran Timurid (sekarang kota besar di Afganistan Barat). Ia diantaranya telah membaiat penyair dan ulama besar ‘Abd. Al-Rahman Jami, yang berjasa memopulerkan tarekat ini di lingkungan istana, dan kemudian menyebar terus ke selatan.[10] ‘Abd. Al-Rahman Jami (827-829 H/1414-1492 M), setelah menyelesaikan pendidikannya dalam bidang kajian tradisional, kemudian ia bergabung dengan disiplin Kashghari selama beberapa tahun dan menyerahkan diri pada pertobatan di bawah pengawasannya. Kontribusi utama Jami pada tasawuf adalah paparannya tentang pemikiran Ibn al-Arabi dalam bahasa yang lebih mudah di pahami dan komentar-komentarnya atas karya-karya Ibn al-Arabi, Rumi, Parsa dan sebagainya yang menguraikan banyak konsep yang sulit dipahami tentang kesatuan wujud. Gubahan-gubahan syairnya banyak membantu dalam menyebarkan segenap konsep gagasan seperti itu.
Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah kemudian memasuki wilayah India yang kemudian berpengaruh ke wilayah Indonesia, sekitar abad ke-10 atau 16 M atau tepatnya pada tahun 1526. Tahun ini bertepatan dengan ditaklukkannya India oleh Babur, pendiri kekaisaran Moghul. Kaisar sendiri adalah pengikut Tarekat Naqsyabandiyah dan begitu pula tentara-tentaranya. Beberapa khalifah ‘Ubaidillah Ahrar (w. 1490) mengikutsertakan pasukan penakluknya ke India, dan sepanjang abad itu telah terjadi gelombang perpindahan kaum Naqsyabandiyah Asia Tengah ke India.
Di antara Syaikh-syaikh Naqsyabandiyah yang datang ke India adalah Baqi Billah (971-1012 H/1563-1603 M). Ia dilahirkan di Kabul tahun 1564 dan telah belajar pada beberapa tokoh Naqsyabandi sebelum ia bermukim di India. Karena mengenal secara penuh prinsip-prinsip Naqsyabandi dan metode latihannya, ia mencurahkan perhatian yang sama kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dalam jangka waktu yang singkat yakni selama lima tahun, dihabiskannya waktunya untuk bekerja di India, dengan menyampaikan pesan silsilah kepada para ulama, kaum sufi, para tuan tanah, dan pejabat dengan tingkat keefektifan yang sama. Baqi Billah disayangi banyak orang karena kepribadiannya yang sangat ramah. Orang datang kepadanya bukan hanya untuk melakukan latihan mistis saja, melainkan juga untuk mendapat berkah spiritual dan pelipur lara yang sangat dirindukan oleh hati manusia. Hampir semua pengikut Naqsyabandiyah di seluruh dunia dewasa ini menarik garis keturunan spiritual meraka melalui Baqi Bilah dan khalifahnya Ahmad Sirhindi.
Perluasan dan aktivitas spiritual Tarekat Naqsyabandiyah di India mendapat dorongan yang sangat tinggi di bawah kepemimpinan Sirhindi (972-1033 H/1564-1624 M) yang dikenal sebagai Mujaddid Alf-i Tsani (pembaharuan milenium kedua, w. 1642). Pada akhir abad ke delapan belas nama Syaikh Sirhindi hampir sinonim dengan Tarekat Naqsyabandiyah di seluruh Asia Selatan, wilayah Ustmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Posisi Sirhindi cukup unik dalam sejarah intelektual Tarekat Naqsyabandiyah. Sekalipun mengikuti prinsip-prinsip dasar dan fundamental tarekat ini, ia memberikan orientasi baru dalam doktrin-doktrinnya dalam membuang doktrin tentang kesatuan wujud  sebagaimana dikemukakan oleh Ibn al-Arabi dan diterima oleh hampir semua Syaikh Naqsyabandiyah, seperti Bahauddin, ‘Ubaidillah Ahrar, dan Maulana Jami. Ahmad Sirhindi seperti para Syaikh Naqsyabandi terdahulu di Asia Tengah, menuntut murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada al-Qur’an dan tradisi-tradisi (sunnah) Nabi.[11]
Pelopor Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara
Syaikh Yusuf al-Makassari (1626-1699) merupakan orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah di nusantara. ia menerima ijazah dari Syaikh Muhammad Abd. al-Baqi di Yaman kemudian mempelajari tarekat ketika berada di Madinah di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Syaikh Yusuf berasal dari kerajaan Islam Gowa, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, dan ia mempunyai pertalian darah dengan keluarga kerajaan di daerah itu. Ia dilahirkan di Makassar pada tahun 1626 M. Pada tahun 1644 pada usianya yang relatif masih muda ia pergi ke Yaman dan diteruskan ke Mekkah lalu Madinah untuk menuntut ilmu dan naik haji.[12] Pada tahun 1672 ia kembali ke Indonesia, namun situasi di Makassar pada waktu itu menyebabkan ia mengurungkan niat untuk pulang ke kota kelahirannya, dan ia memlih untuk menetap di Banten Jawa Barat, hingga menikah dengan putri Sultan Banten dan menjadi seorang syaikh bersuara lantang dan sangat berpengaruh. Kehadiran Syaikh Yusuf merupakan sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten sebagai pusat pendidikan Islam yang menarik para pelajar untuk berdatangan ke sana dari segala penjuru nusantara.
Syaikh Yusuf menulis berbagai risalah mengenai tasawuf dan menulis surah-surah yang berisi nasihat-nasihat kerohanian untuk orang-orang penting misalnya surah-surah Karaeng Karunrung (pemimpin Laskar kerajaan Gowa). Mungkin sebagian dari tulisannya tidak diketahui rimbanya, tetapi sekitar dua puluh naskah pendek yang disebut sebagai karangannya masih ada dalam koleksi naskah di Jakarta dan Leiden. Kebanyakan risalah dan surah-surah yang sudah pasti ditulis oleh Syaikh Yusuf  ditulis dalam bahasa Arab dan yang lainnya ditulis dalam bahasa Bugis. [13]
Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang paling berpengaruh di seluruh Aceh, pengaruhnya paling besar terutama ada di Aceh Barat dan Selatan. Hal ini terutama sekali berkat kegiatan seorang syaikh dan politisi yang kharismatik, Muda Wali (Haji Muhammad Wali al-Khalidy) lebih dikenal dengan sebutan Muda Wali,[14] ialah orang pertama kali yang memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh.[15] masyarakat Aceh lebih mengenal tarekat ini dengan sebutan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah karena dinisbatkan kepada nama belakang Muda Wali.[16]
Muda Wali berasal dari pesisir Barat Aceh, yang sebagian penduduknya telah mengalami proses pembaharuan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Aceh tetapi belum diterima sebagai orang Aceh sejati tapi lebih dianggap sebagai tamu atau pendatang dan sebagai keturunan Minangkabau oleh tetangga mereka di Utara. Namun, mereka pun dibedakan dari perantau Minang yang belum berapa lama tinggal disana. Dia belajar di Minangkabau kepada gurunya Jamil Jahu pendiri PERTI dan menikahi putri gurunya Rabi’ah dan belajar pula di kampar kepada syaikh Abdul Ghani dari Batu Basurat. Beliau mengajarkan tata laksana Tarekat Naqsyabandiyah  serta mengangkat Muda Wali sebagai khalifah utama.[17]
Setelah Muda Wali sudah merasa cukup matang belajar di Padang ia kembali ke kampung halaman Aceh tepatnya di Aceh Selatan pada awal 1940. Kemudian ia mendirikan sebuah dayah yang bernama Darusalam di Labuhan Haji. Setelah Indonesia merdeka ia menjadi penggerak PERTI di Aceh, terutama berkat upaya istrinya Rabi’ah seorang perempuan yang sangat cerdas dan terbuka serta mempunyai naruli politik yang tajam bersama-sama dengan sekutunya Nyak Diwan Tgk. Usman Paoh, Cut Zakaria, Tgk. Bahrunsyah, ia melakukan kampanye politik dan agama secara intensif di sepanjang pesisir Aceh dan belakangan di Aceh Besar. Salah satu tujuan utamanya adalah menangkap pengaruh Muhammadiyah yang sudah tumbuh.
Dalam perjuangan ini, Muda Wali telah mendapatkan semua pertolongan dari semua muslihat yang tercantum dalam kitab Kiai. Perkawinan-perkawinannya semuanya betul-betul strategis. Istri keduanya ialah keponakan dari sahabatnya, Usman Paoh yang ketiga adalah Rabi’ah. Salah satu kecaman di Aceh Selatan dimana Muhammadiyah sangat kuat adalah Manggeng. Di sini tinggal Nur Hayt, ulama besar Muhammadiyah di Aceh. Maka, Muda Wali mengawinkan istri keempat disini, demi memperoleh pijakan. Strategi itu berjalan lancar dan ia ingin mengulanginya di Tenong, kubu pertahanan Muhammadiyah yang lain. Supaya tetap sah, ia harus menceraikan seorang istrinya yang terdahulu, maka ia meninggalkan Rabi’ah sebagai gantinya ia mengambil seorang gadis dari Tenong.[18]
Upaya Muda Wali menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah berjalan seiring dengan aktivitas politiknya.[19] Ia mengangkat beberapa politisi PERTI yang lebih muda, seperti Tgk. Adnan Mahmud dari Bakongan dan Tgk. Jailani sebagai Khalifahnya. Khalifah yang lainya termasuk putra mursyid-nya sendiri, Aydarus Ghani di Kampar, dan dua orang lagi Qamaruddin dan Abdul Hamid, dan Tgk. Usman fauzi di Lung Ie dekat Banda Aceh. Namun sebagai penggantinya ia menunjuk putra sulungya, Muhibbuddin Wali, yang diberi ijazah khalifah oleh gurunya sendiri Syaikh Ghani di Kampar.
Langkah-langkah yang digunakan oleh para Mursyid dalam menyebarluaskan Naqsyabandiyah ialah dengan halaqah diberbagai tempat balai pengajian diseluruh Aceh sesuai dengan tempat tinggal Mursyid itu sendiri. Pada tahap awal masyarakat diajarkan ilmu tauhid dan fiqih secara mendalam, kemudian baru dikenalkan dengan ilmu tasawuf dan ketika masyarakat sudah haus untuk mendekatkan diri kepada Allah, saat itulah Naqsyabandiyah diselipkan sebagai sarana mereka menuju jalan makrifatullah[20].
Tantangan terbesar dalam menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, diperdapat oleh Tgk. Usman Fauzi di kawasan Aceh Besar dan sekitarnya.[21] Yaitu mendapat kecaman dari kalangan terpelajar di Kopelma Darusalam, mereka merasa asing dengan hadirnya Tarekat Naqsyabandiyah yang  mengenalkan metode zikir sir (diam) dan sangat mengutamakan Rabitah Mursyid,[22] hal ini menyebabkan Naqsyabandiyah dianggap salah satu aliran sesat dan Dayah Lueng Ie di ancam akan di bakar oleh masyarakat. Oleh karena itu, hasil musyawarah Usman Fauzi dengan Muhibuddin Wali mereka meminta bantuan dari Partai PPP. Namun karena ketidakmampuan partai PPP menolak memberikan perlindungan terhadap dayah tersebut, usaha Usman untuk menyelamatkan Naqsyabandi tidak berhenti disitu ia meminta bantuan kepada partai Golkar dan dikabulkan, dengan syarat Usman memberikan dukungan penuh terhadap Golkar.[23]
Sejak wafat Muda Wali 1961, putranya Muhibbuddin, secara formal menjadi yang paling dihormati diantara para khalifah, namun karena ia telah lama berada jauh dari Aceh, Usman Fauzi menjadi Mursyid terkemuka di Aceh demi kepentingan praktis. Sudah barang tentu ia juga merupakan tokoh PERTI terkemuka di Aceh (dan anggota DPRD). Tgk. Usman juga bergabung dengan PPTI-nya Haji Jalaluddin Pada tahun 1971 (ketika organisasi ini telah menjadi naungan partai Golkar), dan menjadi ketua untuk wilayah Aceh. Sebagai seorang aktivis PERTI, Tgk. Usman menjadi seorang pendukung PPP yang kemudian beralih ke Golkar dan siap menghadapi pemilu 1982.
Muhibuddin bersama dengan Usman Fauzi berkampanye atas nama Golkar, hal yang menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Banyak orangtua menarik pulang anak-anak mereka dari dayahnya dan mengirim ketempat yang lain seperti Lam Ateuk dan Samalanga. Tetapi murid-murid pengikut setia Naqsyabandiayah tetap tinggal bersama Usman. Kedua tokoh besar ini memberikan dukungan penuh kepada Golkar bukannya kepada PPP sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Di dayah-nya Usman Fauzi melaksanakan dua pertemuan zikir berjamaah setiap pekan, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan, keduanya antara shalat isya dan tengah malam. Sekitar 150 murid secara teratur mengikuti pertemuan-pertemuan ini. Jumlah yang datang bersuluk selama 20 hari jauh lebih banyak, semuanya sudah berusia di atas 50 tahun dan didominasi oleh kaum hawa. Kebanyakan mereka datang dari golongan petani-petani kecil dan segaian kecil dari kalangan elit.[24]
Di pesisir utara Aceh, suluk sesungguhnya tidak pernah menjadi populer, seperti layaknya di pesisir Barat, khususnya di bagian paling selatan (Aceh Selatan dan Tenggara).Suluk merupakan aspek yang tak terpisahkan dari budaya keagamaan setempat. Cukup banyak penduduk berusia tua dari desa-desa di pegunungan yang melakukan perjalanan beberapa kali dalam hidupnya, biasanya begitu selesai panen ke dayah di Labuhan Haji atau dayah yang lainnya di Kluet Utara untuk melaksanakan suluk, meskipun hanya untuk sehari atau beberapa hari saja.
Salah satu yang menjadikan Tarekat Naqsyabandi tetap berjalan di Aceh ialah usaha keras dari Muda Wali sendiri. Salah satu usahanya tergambar dalam salah satu wasiatnya sebelum ia di panggil oleh Allah swt. Wasiat itu ialah seseorang yang mempelajari Islam tidak semata-mata mempelajari syari’at, fiqih, dan tauhid. Tetapi harus dibentengi oleh ilmu tasawuf. Nilai-nilai ilmu tasawuf tersebut ialah mengamalkan tarekat mu’tabarah, seperti Tarekat Naqsyabandiyah. Oleh karena itu, beliau menganjurkan bagi murid-muridnya supaya memasuki tarekat dan berkhalwat, sesuai tuntunan beliau bedasarkan ilmu akhlak dan tasawuf.[25]
Baik Muda Wali maupun putranya, Muhibbuddin, telah memperkaya kepustakaan tasawuf Indonesia dengan satu-dua karya sederhana. Sang ayah menulis dua risalah pendek mengenai Tarekat Naqsyabandiyah, Risalah Adab Dzikir Ism Al-Dzat dalam Tarekat Naqsyabandiyah di tulis dalam bahasa Melayu dan Obat Hati. Nadham Munajat yang diberkahi bagi tarekat Al-Aliat Al-Naqsyabandiyah (teks amalan dalam Bahasa Arab disertai terjemahan dalam bahasa Aceh. Dua karya lainnya ialah Al-Fatawa kumpulan fatwa dan kitab Tanwirul al-Anwar fi Izhar Khalal ma-fi Kasyf al-Asrar, keduanya di tulis dalam Bahasa Melayu.
Berbagai Ritual dan Teknik Spritual
Secara organisasi aspek penting dari tarekat ini adalah afiliasi spiritualnya dengan khalifah pertama Abu Bakar. Walaupun beberapa sub cabangnya menelusuri asal usulnya kepada khalifah Ali. Namun tetap afiliasi utama tarekat ini kepada Abu Bakar. Sedangkan dilihat dari aspek spiritual, hal yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah mampu membentuk alam perkembangan spiritual dengan menunjukkan berbagai tahapan dan kedudukan (ahwal dan maqamat) yang harus dilalui seorang sufi, berdasarkan pengalaman dan petualangan spiritual. Ciri khas lain yang tidak boleh dilupakan adalah para Syaikh Naqsyabandiyah memiliki kesadaran akan misi. Motivasi seseorang mengikuti terekat ialah untuk mengatasi frustasi yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dan untuk memuaskan intelek yang ingin tahu dan juga untuk mengatasi ketakutan Mencari ridha Allah Agar bisa husnul khatimah dan untuk melebur dosa Mohon ampun kepada Allah[26]
Tarekat Naqsyabandiyah, seperti juga tarekat yang lainnya mempunyai beberapa tata cara peribadatan, teknik spiritual, dan ritual tersendiri. Sebagai tarekat yang terorganisir, Naqsyabandiyah mempunyai sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, yang secara geografis penyebarannya meliputi tiga benua. Hal ini berimplikasi pada warna dan tata cara Tarekat Naqsyabandiyah yang sangat bervariasi, menyesuaikan masa, kondisi, dan tempat tumbuhnya. Adaptasi ini terjadi karena beberapa hal, di antaranya adalah karena keadaan yang memang berubah, guru-guru yang berbeda memberi penekanan yang berbeda dari asas yang sama, atau para pembaharu memperkenalkan sesuatu yang lain dengan menghapuskan pola pikir tertentu. Walaupun memiliki warna dan tata cara yang bervariasi, namun tarekat ini mempunyai asas dan ajaran dasar yang sama, sebagai acuan dan pegangan bagi para pengikutnya.[27]
Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah menurut Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya, ‘Tanwir al-Qulub’ seperti dikutip oleh Fuad,[28] terdiri atas 11 asas; 8 asas dirumuskan oleh ‘Abd. al-Khaliq Ghujdwani, sedangkan 3 asas lainnya adalah penambahan oleh Muhammad Bahauddin Naqsyabandi. Ajaran dasar atau asas-asas ini di kemukakan dalam Bahasa Persia, dan disebutkan dalam banyak risalah, termasuk dalam Jami al-Uhul fi al-Awliya’ kitab karya Ahmad Dhiya al-Din Gumusykhanawi yang dibawa pulang dari Mekkah oleh banyak jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[29] Ajaran dasar tersebut adalah:
1.    Husy dar dam, “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: dimana seseorang harus menjaga diri dari kekhilafan dan kelupaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah. Hal ini dikarenakan setiap keluar masuk nafas yang hadir beserta Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah.
2.    Nazhar bar qadam, “menjaga langkah”. Seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki. Dan apabila duduk, tidak memandang ke kiri atau ke kanan. Sebab memandang kepada aneka ragam ukiran dan warna dapat melalaikan orang dari mengingat Allah, selain itu juga supaya tujuan-tujuan yang (rohaninya) tidak dikacaukan oleh segala hal yang berada di sekelilingnya yang tidak relevan.
3.    Safar dar wathan, “melakukan perjalanannya di tanah kelahirannya”. Maknanya adalah melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. Atau maknanya ialah berpindah dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji.
4.    Khalwat dar anjuman, “sepi di tengah keramaian”. Khalwat bermakna menyepinya seorang petapa, sementara anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Berkhalwat terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a.       Khalwat lahir, yaitu orang yang bersuluk mengasingkan diri ke sebuah tempat tersisih dari masyarakat ramai.
b.      Khalwat batin, yakni mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan sesama makhluk.
5.    Yad krad, “ingat atau menyebut”. Ialah berzikir terus-menerus mengingat Allah, baik zikir ism al-dzat (menyebut Allah), maupun zikir nafi itsbat (menyebut La Ilaha illa Allah).
6.    Baz Gasht, “kembali,” “memperbaharui.” Hal ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur). Sesudah menghela (melepaskan) nafas, orang yang berzikir itu kembali munajat dengan mengucapkan kalimat yang mulia Ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi (“Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mu-lah yang kuharapkan”). Sewaktu mengucapkan zikir, makna dari kalimah ini harus senantiasa berada dalam hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang paling halus kepada Allah semata. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki dan semua makhluk ini lenyap dari pandangannya.
7.    Nigah Dasyt, “waspada”. Ialah setiap murid harus menjaga hati, pikiran, dan perasaan dari sesuatu walau sekejap ketika melakukan zikir tauhid. Hal ini bertujuan untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dan perilaku agar sesuai dengan makna kalimah tersebut.
8.    Yad Dasyt, “mengingat kembali”. Adalah tawajuh (menghadapkan diri) kepada nur dzat Yang Maha Esa, tanpa berkata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada nur dzat Allah itu tiada lurus, kecuali sesudah fana (hilang kesadaran diri) yang sempurna. Tampaknya hal ini semula dikaitkan pada pengalaman langsung Kesatuan dengan Yang Ada (wahdat al-wujud).[30]
Adapun tiga asas lainnya yang berasal dari Syaikh Bahauddin Naqsyabandi adalah:
1.    Wuquf zamani, “memeriksa penggunanan waktu”, yaitu orang yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali. Apabila ternyata keadaannya terus-menerus sadar dan tenggelam dalam zikir, dan melakukan yang terpuji, maka hendaklah ia bersyukur kepada-Nya. Sebalikya apabila keadaannya dalam alpa atau lalai dan melakukan perbuatan dosa, maka harus segera minta ampun dan taubat kepada Allah, serta kembali kepada kehadiran hati yang sempurna.
2.    Wuquf ‘adadi, “memeriksa hitungan zikir,” yakni dengan penuh hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada zikir nafi itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali.
3.    Wukuf qalbi, “menjaga hati tetap terkontrol.” Kehadiran hati serta kebanaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian seseorang secara sempurna sejalan dengan zikir dan maknanya. Selain kebenaran Allah dan tiada menyimpang dari makna dan perhatian zikir. Lebih jauh dikatakan bahwa hati orang yang berzikir itu berhenti (wukuf) menghadap Allah dan bergumul dengan lafadz-lafadz dan makna zikir.[31]

Zikir
Titik berat penganut Tarekat Naqsyabandiyah adalah zikir. Zikir adalah berulang-ulang menyebut nama Allah atau menyatakan kalimah La ilaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah), dengan tujuan untuk mencapai kesadaran akan Allah yang lebih langsung dan permanen. Bagi penganut Tarekat Naqsyabandiyah zikir ini dilakukan terutama dzikr khafi (diam, tersembunyi) secara berkesinambungan, pada waktu pagi, sore, siang, malam, duduk, berdiri, di waktu sibuk, dan di waktu senggang. Para penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan zikir sendiri-sendiri, tetapi bagi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan dengan syaikh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan, di mana zikir dilakukan berjamaah. Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai dua macam zikir:
1.    Zikir Ism al-dzat, artinya mengingat nama Yang Haqiqi dengan mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Allah semata.  
2.    Zikir tauhid, artinya mengingat Keesaan. Zikir ini terdiri atas bacaan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas, kalimah La ilaha illa Allah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Caranya, (1) bunyi la digambar dari daerah pusar terus ke atas sampai ke ubun-ubun; (2) bunyi ilaha turun ke kanan dan berhenti di ujung bahu kanan; (3) kata berikutnya illa dimulai dan turun melewati bidang dada sampai ke jantung, dan kearah jantung inilah yang terakhir Allah dihunjamkan sekuat tenaga. Orang yang sedang berzikir membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah, dan memusnahkan segala kotoran.[32]
Selain dari dua macam zikir di atas, pengikut Tarekat Naqsyabandiyah mengenal zikir latha’if yang lebih tinggi tingkatannya. Zikir ini mengharuskan pelaku zikir memusatkan kesadarannya dan membayangkan nama Allah itu sampai bergetar dan memancarkan panas berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Dalam praktik berzikir ada dua model/cara, yakni zikir hati, ialah tafakkur mengingat Allah, merenungi rahasia ciptaan-Nya secara mendalam dan merenungi tentang dzat dan sifat Allah Yang Maha Mulia. Dan cara kedua, yaitu zikir anggota (jawarih), ialah tenggelam dalam ketaatan.
Sebagian ulama Naqsyabandiyah menyatakan bahwa zikir anggota tubuh (jawarih) itu adalah:
1.    Zikir mata dengan menangis
2.    Zikir telinga dengan mendengar yang baik-naik
3.    Zikir lidah dengan memuji Allah
4.    Zikir tangan dengan memberi sedekah
5.    Zikir badan dengan menunaikan kewajiban
6.    Zikir hati dengan takut dan berharap
7.    Zikir roh dengan penyerahan diri kepada Allah dan rela.
Terdapat 7 tingkatan zikir, yakni:
1.    Mukasyafah. Mula-mula zikir dengan menyebut “Allah” dalam hati sebanyak 5000 kali sehari semalam. Setelah melaporkan perasaan selama berzikir, maka syaikh atau mursyid menaikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari semalam. Zikir 5000 dan 6000 itu dinamakan zikir mukasyafah sebagai maqam (tingkat) pertama.
2.    Latha’if. Setelah melaporkan perasaan yang dialami dalam berzikir itu, maka atas penilikan syaikh, dinaikkan zikirnya menjadi 7000. Dan demikianlah seterusnya menjadi 8000, 9000, 10.000 sampai 11.000 kali sehari semalam. Zikir tersebut dinamakan dengan latha’if sebagai maqam kedua.
3.    Nafi itsbat, setelah melaporkan perasaan yang dialami dalam berzikir 11.000 kali itu, maka atas pertimbangan syaikh diteruskan zikirnya dengan kalimat La Ilaha illa Allah. Perubahan kalimat zikir itu ditentukan oleh syaikh demikian pula jumlahnya sesuai dengan pengalaman dalam berzikir yang dilaporkan.
4.    Wuquf qalbi
5.    Ahadiah
6.    Ma’iyah
7.    Tahlil[33]
Apabila tiba saatnya menurut pandangan syaikh, maka orang yang berada di maqam tahlil atau maqam ke-7 itu diangkat menjadi khalifah.[34] Dan apabila telah memperoleh gelar khalifah, dengan ijazah, maka ia berkewajiban menyebarluaskan ajaran tarekat itu dan boleh mendirikan suluk di daerah-daerah lain. Orang yang memimpin persulukan itu dinamakan Mursyid. Tingkat tertinggi bagi laki-laki adalah khalifah dan bagi wanita adalah tahlil. Meskipun seorang laki-laki telah mencapai tingkat khalifah atau seorang perempuan mencapai tingkat tahlil, namun suluk masih dapat di teruskan.
Adapun cara melakukan zikir yang diajarkan oleh syaikh ‘Abdul Wahab Rokan al-Khalidi Naqsyabandi, sesuai dengan adab yang berlaku dikalangan penganut tarekat, adalah sebagai berikut:
1.    Menghimpun segala pengenalan dalam hati.
2.    Menghadapkan diri (perhatian) kepada Allah.
3.    Membaca Istighfar sekurang-kurangnya 3 kali.
4.    Membaca al-Fatihah dan surah al-Ikhlas.
5.    Menghadirkan roh Syaikh Tarekat Naqsyabandiyah.
6.    Menghadiahkan pahala bacaan kepada Syaikh Tarekat Naqsyabandiyah.
7.    Melaksanakan rabithah.
8.    Mematikan diri sebelum mati.
9.    Munajat dengan mengucapkan Illahi anta maqshudi waridhaka mathlubi.
10.    Berzikir dengan mengucapkan “Allah”, “Allah” dalam hati dalam keadaan mata terpejam, duduk seperti kebalikan dari duduk tawarruk dalam shalat, mengunci gigi, melekatkan lidah ke langit-langit mulut.
Menurut Amin al-Kurdi dalam melaksanakan zikir perlu diperhatikan adab-adab sebagai berikut:
1.    Mempunyai wudhu, selalu dalam keadaan suci dari hadast. Melaksanakan shalat sunat dua raka’at.
2.    Menghadap kiblat di tempat sunyi.
3.    Duduk dengan posisi kebalikan duduk tawarruk[35] dalam shalat, karena para sahabat duduk di depan Nabi SAW. Seperti itu. Duduk seperti itu lebih merendahkan diri dan panca indera lebih terhimpun.
4.    Mohon ampun kepada Allah dari semua kesalahan dengan mengingat kejahatan yang telah dilakukan dan meyakini bahwa Allah melihatnya. Lalu mengucapkan astaghfirullah disertai dengan pengertiannya dalam hati sebanyak 5 atau 15 atau 25 kali lebih baik.
5.    Membaca al-Fatihah satu kali dan surah al-Ikhlas tiga kali, kemudian dihadiahkan pahalanya kepada roh Nabi Muhammad SAW. Dan kepada roh-roh para Syaikh Tarekat Naqsyabandiyah.
6.    Memejamkan kedua mata, mengunci mulut dengan mempertemukan dua bibir, lidah dinaikkan ke langit-langit. Hal itu dilakukan untuk mencapai kekhusyukan yang sempurna dan lebih memastikan lintasan-lintasan dalam hati yang harus diperhatikan.
7.    Rabithah kubur, yakni dengan membayangkan bahwa diri kita telah mati, dimandikan, dikafani, dishalatkan, diusung ke kubur, dan dikebumikan. Semua keluarga dan sahabat, dan kenalan meninggalkan kita sendirian dalam kubur. Pada waktu itu ingatlah bahwa segala sesuatu tidak berguna lagi kecuali amal shaleh.
8.        Menghimpun semua panca indra, memutuskan hubungan dengan semua yang membuat kita ragu kepada Allah, dan menghadapkan semua indra hanya kepada Allah, kemudian mengucapkan Illahi anta maqshudi waridhaka mathlubi sebanyak tiga kali dengan sungguh-sungguh dan hati yang bersih. Sesudah itu barulah mulai berzikir ism al-dzat dalam hati dengan meresapkan pengertiannya sekali, yakni Dialah dzat yang tiada satu pun yang setara dengan Dia.
9.        Pada waktu zikir hampir berakhir, menunggu sesuatu yang akan muncul sebelum membuka dua mata. Apabila datang sesuatu yang gaib, maka hendaklah waspada dan berhati-hati menghadapinya, karena cahaya hati akan terpancar. Sesudah mata terbuka, lintasan atau pemandangan yang gaib itu tidak mau hilang, maka hendaklah diucapkan Allahu Zazhiri sebanyak tiga kali. Jika tidak mau lenyap maka hentikan zikir dan bayangkan rupa guru. Jika tidak mau hilang juga, maka hendaklah mandi dan shalat dua raka’at, serta meminta ampun dan berdo’a.[36]
Adapun alasan Tarekat Naqsyabandiyah melakukan zikir diam, karena di nisbahkan kepada Abu Bakar. Beliau sendiri menerima pelajaran spritualnya pada malam hijjrah, ketika ia dan Rasulullah sedang bersembunyi di sebuah gua tak jauh dari Makkah. Karena di seputaran itu banyak musuh, maka tidak bisa berbicara keras-keras, dan Rasulullah mengajarinya untuk berzikir di dalam hati. Sedangkan, menurut bimbingan Abu Tajuddin selaku pimpinan dayah Lung Ie ke II menyatakan pada kami, bahwa Tarekat Naqsyabandiyah mengunakan metode zikir khafi (diam) berpedoman pada sebuah sabda Rasulullah;
 ذكر الخوف افضل من ذكر النطق  
zikir diam lebih baik dari pada zikir lisan[37]
Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah seiring dengan perkembangan ritual dan tekniknya. Sebagai contoh kami menadapatkan perbedaan disebuah Dayah Lung Ie yang praktek tarekat Naqsyabandiyah diawali dengan zikir yang disebut Samadiyah.[38] Perbedaan-perbedaan ini didasari oleh sebuah hadis nabi فاذكر الله كثيرا   “ingatlah Allah sebanyak-banyaknya” hadis ini memberikan pemahaman bahwa tidak adanya batasan dalam berzikir. Maka Naqsybandiah melakukan modifikasi seperti 1000 kali atau 10.00 kali sesuai dengan arahan dari para mursyid.[39]

Rabithah Mursyid (wasilah)
Rabithah ialah menghadirkan rupa guru atau syaikh ketika hendak berzikir. Hal ini sebagai salah satu kelanjutan dari salah satu ajaran yang terdapat pada tarekat ini yaitu wasilah. Wasilah adalah mediasi melalui seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai suatu hal yang dibutuhkan untuk kemajuan spiritual. Untuk sampai kepada perjumpaan pada Sang Mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan saja, tetapi campur tangan aktif dari para pendahulu sang pembimbing termasuk yang paling penting Nabi Muhammad. Menemukan rantai yang menghubungkan seseorang dengan Nabi, dan dari beliau sampai kepada Tuhan adalah bagian penting dari pencarian spiritual.[40]
Khatm Khwajagan
Khatm-i Khwajagan merupakan serangkaian wirid, ayat, sholawat, dan do’a yang menutup setiap zikir berjamaah, konon ini disusun oleh Abdul Abd Alkhalid Al-Ghujdawani, dan dianggap sebagai tiang ketiga naqsyabandiyah, setelah zikir ism al –dzat dan zikir naf’iy wa isbat. Pembacaan khatm di percayai untuk memohon ruh-ruh para syaikh besar dari masa lampau agar membantu mereka yang sedang berkumpul.
Muraqabah
Ada kategori latihan mistik lainnya yang hanya diajarkan kepada murid yang tingkatnya lebih tinggi, biasanya hanya kepada mereka yang telah menguasai zikir pada semua latha”if.  Latihan ini disebut muraqabah “pengendalian diri” ini merupakan teknik-teknik kosentrasi dan meditasi. Kitab-kitab pegangan sedikit sekali memberikan informasi tentang muraqabah, karena seseorang tidak mungkin bisa mempelajarinya sendiri tetapi langsung diajarkan oleh gurunya yaitu sang mursyid.
Banyak orang yang menantang tentang paham Rabithah Mursyid ini, mereka mengatakan bahwa penganut Naqsyabandiyah meminta pertolongan kepada roh sang guru dalam memudahkan urusannya. Naqsyabandiyah memberikan bantahan bahwa yang di maksud dengan rabithah mursyid ialah kegiatan sebelum melakukan zikir, dengan cara mengingat sang guru baik itu amala dan juga wajahnya. Hal ini bertujuan untuk mengingat semua jasa-jasa sang guru, berkat gurulah kita bisa paham mengenal Allah, faham ilmu fikih dan lain sebagainya.        
Tawajjuh
Tawajjuh merupakan perjumpaan dimana seseorang membuka hatinya kepada syaikhnya dan membayangkan hatinya itu di sirami berkah sang Syaikh. Sang Syaikh akhirnya membawa hatinya tersebut kehadapan nabi Muhammad Saw.
Baiat, Ijazah, Khalifah
Baiat adalah pintu gerbang untuk terdaftar dalam anggota zikir Naqsyabandiyah, sebelum dilakaukan pembaiatan sang murid harus melakukan taubat, yaitu mengingat dosa-dosa yang lalu dan memohon ampunan dan bertekat tidak mengulanginya. Baiat dilakukan didepan Mursyid dan disaksikan oleh murid-murid yang lain. Ijazah ialah tahap kedua yang diberikan kepada murid yang sudah benar-benar memahami dan mengamalkan semua ritual dari Naqsyabandiyah dan diperbolehkan untuk mengamalkan sendiri tanpa bimbingan sang Mursyid. Sedangkan Khalifah ialah perizinan yang diberikan kepada murid yang sudah mampu membaiat orang lain, bagi murid yang sudah diangkat sebagai Khalifah akan diutus oleh Mursyid ke tempat-tempat yang belum mengenal Tarekat Naqsyabandiyah.
Khalwat atau suluk
Yaitu kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan duniawi dan berusaha melawan hawa nafsu, untuk mendekatkan diri kepada Allah swt melalui zikir-zikir dan ibadah-ibadah yang diajarkan oleh mursyid, Kegiatan ini dilakukan selama 40, 30, 20 atau paling sedikit 10 hari. Selama melakukan khalwat, seseorang makan dan minum sedikit sekali, bahkan tidak diperbolehkan memakan makanan dari binatang yang mengandung darah seperti kerbau, kambing, ayam dan juga segala macam ikan. Tetapi mereka disajikan berupa nasi dan sayur-sayuran yang mengandung gizi kesehatan. Orang yang berkhalwat hampir seluruh waktunya digunakan untuk berzikir dan meditasi dan ia pun tidak diperbolehkan berbicara kecuali dengan mursyid atau dengan sesama mitranya yang melakukan suluk. Khalwat dalam dunia tarekat Islam ini diambil berdasarkan khalwatnya Nabi di Gua Hira’ dan khalwatnya Nabi Musa di bukit Sinai.[41]
Sekilas tentang Tarekat Naqsyabandiyah al-Haqqani, dalam sebuah buku karangan Samir al-Qadli memberikan penjelasan tentang Tarekat Naqsyabandiyah al-Haqqani itu ialah sesat. Beliau mengatakan bahwa silsilah Abdullah Faiz ad-Daghistani selaku pencetus Tarekat Naqsyabandiyah al-Haqqani terputus kepada syeikh Bahauddin dan Abdullah sendiri seorang penganut paham syiah.
Nazim yang menyebutkan dirinya “al-Haqqani”, seorang  berkebangsaan Cyprus yang pernah dideportasi dari Lebanon atas perintah Mufti Lebanon pada waktu itu, dan dikecam karena kesesatannya oleh Mufti Tripoli Lebanon. Dan Hisyam Kabbani ialah imigran Lebanon yang sekarang berdomisili di California, Hisyam dinobatkan sebagai khalifah al-Haqqani untuk kawasan Amerika. Mata rantai Tarekat yang dibawa oleh keduanya berasal dari seorang yang bernama Abdullah Faiz ad-Daghestani yang tinggal di Damaskus, padahal Mufti Negara Deghestan Sayid Ahmad ibn Sulaiman mengatakan dalam surat yang diterbitkan oleh al-Idarah ad-Iniyah Li Muslimi Daqhestan bahwa mata rantai Tarekat yang dibawa oleh Abdullah tidaklah bersambung (maqthu’) [42] dan tarekat yang diajarkannya sesat.
Sebagai salah satu contoh dari kesesatan-kesesatan mereka, sebagaimana tergambar dalam sebuah buku bernama Washiyyah Mursyid az-Zaman Wa Ghauts al Anam, karangan Abdullah dan diterjemahkan oleh Hisyam, pada halaman 9 ia menyebutkan: “seandainya seorang kafir membaca surat al-Fatihah walaupun sekali seumur hidup, maka ia tidak akan keluar dari dunia ini kecuali memperoleh dari pertolongan tersebut, karena Allah tidak membedakan antara orang karfir, gasiq dan mukmin. 




Setelah melakukan penelitian ini, kami dapat menyimpulkan bahwa hipotesa yang telah kami buat benar bahwa Tarekat Naqsyabandiyah adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengamalkan tauhid, fiqih, dan tasawuf. Pendiri tarekat ini adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni Muhammad Bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisy al-Bukhari Naqsyabandiyah (717 H/1318 M – 791 H/1389 M) yang lahir di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Tarekat Naqsyabandiyah masuk ke Aceh kira-kira pada awal tahun 1940 yang di bawa oleh Haji Muhammad Muda Wali, pendiri pesantren besar Darussalam di Labuhan Haji (Aceh Selatan) dan merupakan tokoh ternama PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) seluruh Aceh.
Seperti juga tarekat yang lainnya, Tarekat Naqsyabandiyah pun mempunyai ritual, teknik spiritual dan beberapa tata cara peribadatan. Tata cara peribadatannya sangat beravariasi, menyesuaikan masa, kondisi, dan tempat tumbuhnya. Hal ini terdiri dari zikir dengan kaifiat dan adabnya, rabithah, khatm khawajakan, muraqabah, rabithah mursyid, tawajuh, baiat, ijazah, khalifah, serta khalwat atau suluk. Maka benarlah hipotesa kami tentang adanya perbedaan ritual Tarekat Naqsyabandiyah dari masa ke masa. Adapun penyebab terbagi-baginya Tarekat Naqsyabandiyah karena gurunya memodifikasi kembali zikir yang telah di rancang oleh guru terdahulu sehingga terbentuklah sebuah tarekat baru yang dinisbatkan kepada guru yang mengajarkaan tersebut. Seperti mana yang dipraktekkan oleh Ahmad Khatib yang mempopulerkan Tarekat Qadiriah Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Naqsyabandiyah al-Haqqani, Naqsyabandiah Kadirun Yahya dll.
Dengan melakukan dan membuat laporan penelitian ini mudah-mudahan dapat berguna bagi peneliti khususnya dan pembaca umumnya. Kami juga menyarankan agar pembaca bisa serta memberikan pemahaman positif terhadap Tarekat Naqsyabandiyah sehingga tidak adalagi kesenjangan sosial dalam masyarakat.




Daftar Bacaan
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif,1997.
Amin Syukur, Tasawuf kontekstual, Yogyakarta: Suara Merdeka, 2003.
Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandi, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003.
Martin van Brunessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992.
Muhammad Wali al-Khalidi, Adab Zikir Ismu Dzat dalam Tarekat Naqsyabandiyah, Semarang: Sumber Keluarga, -.
Muhibbuddin Wali, Ayah Kami Maulana Syaikh Haji Muhammad Wali al-Khalidy, Malaysia: International Islamic University, 1993.
Nizami, Seyyed Hossein Nasr, Terjemahan, Ensiklopedia Tematis Spritualitas Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, -, Pustaka al-Kaustsar, 2002.
Samir al-Qadli, Kasyf  Dlalat Nazhim al Qubrushshi, di terjemahkan oleh Samamah, Mengungkap Kesesatan Nadhim Haqqani, Jakarta: Samamah pres, 2012.
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sururin, Perempuan dalam Dunia Tarekat, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012.



[1] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (-, Pustaka al-Kaustsar, 2002) hal.200.
[2] Martin van Brunessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992,) hal.144.
[3] Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandi, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), hal.1
[4] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,1997), hal.849.
[5] Fuad Said....hal.6.
[6] Ibid….hal.23.
[7] Nizami, Seyyed Hossein Nasr, Terjemahan, Ensiklopedia Tematis Spritualitas Islam, (Bandung:Mizan, 1997, hal.222.
[8] Ibid….hal.219.
[9] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Hal.92-93.
[10] Martin van Brunessen….hal.53.
[11] Sri Mulyati…hal.95.
[12] Martin van Brunessen…hal.34.
[13] Lihat koleksi karangan Syaikh Yusuf di buku Martin van Brunessen, hal.36-37.
[14] Pendiri dayah (pesantren) besar Darusalam di Labuhan Haji (Aceh Selatan) dan merupakan tokoh ternama PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) seluruh Aceh.
[15] Martin van Brunessen....hal.140.
[16] Wawancara dengan jam’ah suluk di dayah Lung Ie
[17] Ibid….hal.144.
[18] Ibid….hal.145.
[19] Muda Wali bergabung dengan partai politik ialah untuk menyebarluaskan Tarekat Naqsybandiyah di seluruh  Aceh. Seperti halnya Rasulullah dalam menyebarkan Agama Islam di mulai dari kalangan pemerintahan yang secara otomatis akan diikuti oleh masyarakatnya, (Wawancara dengan Tgk. Tajuddin, pimpinan dayah Lueng Ie generasi II, Tanggal 12 Desember 2013.
[20] Wawancara dengan Abu Tajuddin, Tanggal 18.
[21] Usman Fauzi adalah pinpinan pertama dayah Lueng Ie dan beliau juga ayahanda dari Tgk. Tajuddin
[22] Rabitah Mursyid lihat di Peper hal.17.
[23] Wawancara dengan Tgk Tajuddin, tanggal 12 Desember 2013.
[24] Wawancara dengan Tgk. Tajuddin, tanggal 12 Desember 2013.
[25] Muhibbuddin Wali, Ayah Kami Maulana Syaikh Haji Muhammad Wali al-Khalidy, (Malaysia: International Islamic University, 1993), Hal.105.
[26] Sururin, Perempuan dalam Dunia Tarekat, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012,) Hal.197.
[27] Sri Mulyati….hal.102.
[28] Fuad Said….hal.47.
[29] Martin van Brunessen….hal.76.
[30] Sri Mulyani….hal.105.
[31] Amin Syukur, Tasawuf kontekstual, (Yogyakarta: Suara Merdeka, 2003), hal.57.
[32] Muhammad Wali al-Khalidi, Adab Zikir Ismu Dzat dalam Tarekat Naqsyabandiyah, (Semarang: Sumber Keluarga, -), hal.59.
[33] Sri Mulyani….hal.109.
[34] Pengertian Khalifah lihat peper ini hal.20.
[35] Duduk Tawaruk adalah kebalikan dari duduk tahiyat akhir pada shalat.
[36] Muhammad Wali al-Khalidi… hal.9-36.
[37] Wawancara dengan pimpinan Lung Ie tanggal 23 Desember 2013.
[38] Samadiyah adalah doa yang dilakukan secara bersama  untuk dikirimkan kepada orang yang telah meninggal. Praktek ini tidak dilakukan oleh Baha’ ad-Din Naqsyabandi..
[39] Wawancara dengan Pimpinan dayah Lueng Ie Abu Tajuddin.
[40] Martin van Brunessen…hal.83.
[41]Muhibbuddin Wali, Ayah Kami Maulana Syaikh Haji Muhammad Wali al-Khalidy, (Malaysia: International Islamic University, 1993), Hal.105.
 [42] Samir al-Qadli, Kasyf  Dlalat Nazhim al Qubrushshi, di terjemahkan oleh Samamah, Mengungkap Kesesatan Nadhim Haqqani, (Jakarta: Samamah pres, 2012), Hal.1-3. Syekh Samir al-Qadli menulis berlandaskan pada fakta-fakta seperti majalah, buku, fatwa ulama dan lain sebagainya.

readmore »»  

DAFTAR ISI