PAHAM ASY’ARIYAH
oleh
husaini
azizah uswatun hasanah
wirnanda
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN
ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah
paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,
seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya
sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada
tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324
H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i
di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang
ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya
menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal
itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai
betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk
membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham
Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh
sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal
yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain
menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i
seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya
ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata
kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku,
karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama
pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang
kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam
mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15
hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi
pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan
dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap
mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam
kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin
Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak
pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah.
Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang
diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah
Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang
berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh
Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang
kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode
ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai
pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang
berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah
mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji
ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau
juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik
pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini
adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang
bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan
seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih
belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya
dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu
punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya
menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari
nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif,
ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa
Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau
tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa
wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya
wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan
dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah,
tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis
kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci
akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu
sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam,
kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah
menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran
pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam.
Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab
argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah
satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika
menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan
merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman
wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi
negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah
An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah
Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh
para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki
serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar
ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode
akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini
adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH
WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai
beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di
atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana
yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang
yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.”
Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar
yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab
dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai
"As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah"
karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di
tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari
syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang
mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya
radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli
Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai
dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari
Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum,
menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang
diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama,
yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka
dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan
(As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita
bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan
Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal
munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan
bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi
fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami.
Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan
melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah
ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka
yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi,
Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai
kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka
mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka
menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan
mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal
untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang
ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan
hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan
beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau
diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita
simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin
(terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida'
dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan
Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal
jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab
As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk
berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para
ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok
manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu
perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali
kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah
melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq
yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran
jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka
(para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima'
(berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama
untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang
menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua
perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan
din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah
mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama
menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya :
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala,
”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang
muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya
putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya
hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika
sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah
dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah
mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang
ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain.
Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan
atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara
yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang
paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini
timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan
dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut
memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya
pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan
Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran
Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham
bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut
mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim,
berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk
yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini,
semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada
ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul
atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya
kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal
jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun
Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah
Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa
madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh
Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka
mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab
Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan
Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah
memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat
tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu
juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan
pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata
diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat
dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan
manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan
pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah
Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang
berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan
pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki
kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat
Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan
Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar
tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah
mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun
baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan
melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan
memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa
ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik
jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara
harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika
dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah
dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun
Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang
mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku
dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan
Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa
Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut
disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
- Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah
dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun
tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj
Salafus Shalih dalam banyak sebab.
- Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak
menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini
menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan
cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah
jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok
(ushul) apa pun.
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah
yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan
mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak
dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang
dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti
bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri
manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan
berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah
adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau
melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya,
melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus
tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran
Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan,
dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh
Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin
menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan
mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak
akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok
untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan
makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi
berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh
sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah
sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak
mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi,
menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia
kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di
antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari
keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf
nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak
kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus
Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai
berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w.
1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang
sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat
Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah.
Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah,
seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif
dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam
diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga
menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam
al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini
beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan)
sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah,
wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan
sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik
dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan
daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai
wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan
(ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan
Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal
jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran
Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu
paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung
dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham
Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang
berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/
1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani
(328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/
1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana
yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara
yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi
antara wahyu dan filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar