dimensi dimensi dalam islam


DIMENSI-DIMENSI DALAM ISLAM
OLEH 
KELOMPOK
JJJ





BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam pemikiran islam, terdapat dimensi – dimensi dan aliran – aliran yang menjadi tuntunan bagi umat islam. Dalam pemikiran Islam terdapat berbagai macam dimensi, diantaranya Islam, Iman, Ihsan, syarit, tarikat, dan sufisme,  Dimana dimensi – dimensi ini menjadi sebuah rujukan ajaran dalam islam untuk mencapai keimanan yang hakiki. Dalam iman, islam, ihsan, tarikat, syariah, dan sufisme manusia diajarkan untuk melakukan kegiatan – kegiatan yang dapat menambah dan memperkuat iman mereka. Dengan menjalankan dimensi ini manusia dapat mencapai derajat paling tinggi dari mulai ahwal hingga mencapai puncak hakikat.
            Sedangkan dalam aliran-aliran pemikiran islam, terdapat beberapa aliran seperti aliran kalam, aliran fiqh, aliran tasawuf, dan aliran filsafat. Kesemua aliran ini merupakan suatu pegangan, kepercayaan, dan tuntunan yang dijalankan oleh seseorang supaya hidupnya menjadi terarah. untuk lebih jelasnya, akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    DIMENSI-DIMENSI DALAM  ISLAM

1.      Islam, Iman, dan Ihsan

Dimensi –dimensi Islam yang dimaksud pada bagian ini adalah keislaman seseorang, yaitu iman, islam dan ihsan. Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai trilogi ajaran Ilahi.
Dimensi-dimensi Islam berawal dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dimuat dalam masing-masing kitab sahihnya yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad Saw dan Malaikat Jibril tentang trilogi ajaran Ilahi:

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يوما بارزا للناس فاتاه رجل فقال: يارسول الله ! ماالايمان؟ قال: أن تؤمن
 بالله وملائكته و كتابه و رسله و تؤمن با لبعث الاخر قال:يا رسول الله ما الاسلام؟ قال :الاسلام ان تعبد الله ولا تشرك به شيئا و تقيم الصلاة المكتوبة و تؤدي الزكاة المفروضة و تصوم رمضان. قال: يا رسول الله ! ماالاحسان؟ قال: ان تعبد الله كأنك تراه فان لم تكن تراه فانه يراك.

“ Nabi Muhammad Saw keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang datang menghadap beliau dan bertanya: “ Hai Rasul Allah, apakah yang dimaksud dengan iman? “ Beliau menjawab: “ Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para utusan-Nya, dan percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “ Apakah yang dimaksud dengan Islam? “ Beliau menjawab: “ Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak musyrik kepada-Nya, engkau tegakkan salat wajib, engkau tunaikan zakat wajib, dan engkau berpuasa pada bulan Ramadhan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “ Apakah yang dimaksud dengan ihsan?” Nabi Muhammad Saw menjawab: “ Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya; apabila engkau tidak melihat-Nya maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu...” (Bukhari, I, t.th: 23).
Hadits di atas memberikan ide kepada umat Islam Sunni tentang rukun iman yang enam, rukun Islam yang lima, dan penghayatan terhadap Tuhan yang Mahahadir dalam hidup. Sebenarnya, hal itu hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Antara yang satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan.
Setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidak absah tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa Islam. Dalam penelitian lebih lanjut, sering terjadi tumpang tindih antara tiga istilah tersebut: dalam iman terdapat Islam dan ihsan; dalam Islam terdapat iman dan ihsan; dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari sisi itulah, Nurcholish Majdid (1994: 463) melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.
Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsur, yaitu Islam, iman dan ihsan. Dalam tiga unsur itu terselip makna kejenjangan (tingkatan): orang mulai dengan Islam, kemudian berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Rujukan Ibnu Taimiah dalam mengemukakan pendapatnya adalah surat al-Fathir (35) ayat 32: “ Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri; dan di antara mereka ada yang pertengahan; dan di antara mereka ada pula yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah...”
Di dalam al-Quran dan terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama dijelaskan sebagai berikut: pertama, “ orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri “ (fa minhum zhalim li nafsih) adalah orang yang lebih banyak kesalahannya dari pada kebaikannya; kedua, “ orang-orang pertengahan ” (muqtashid) adalah orang-orang yang antara kebaikan dengan kejelekannya berbanding; dan ketiga, “ orang-orang yang lebih dulu berbuat kebaikan ” (sabiq bi al-khairat) adalah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan jarang melakukan kesalahan. (Depag, 1985: 701)
Dengan penjelasan yang agak berbeda, Ibnu Taimiah menjelaskan sebagai berikut: pertama, orang-orang yang menerima warisan kitab suci dengan mempercayai dan berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan zalim, adalah orang yang baru ber-Islam, suatu tingkat permulaan dalam kebenaran; kedua, orang yang menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi seorang mukmin, tingkat menengah, yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan zalim namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja; ketiga, perjalanan mukmin itu (yang telah terbebas dari perbuatan zalim) berkembang perbuatan kebajikannya sehingga ia menjadi pelomba (sabiq) perbuatan kebajikan; maka ia mencapai derajat ihsan. “ Orang yang telah mencapai tingkat ihsan,” kata Ibnu Timiah,” akan masuk surga tanpa mengalami azab,”
Imam al-Syahrastani menjelaskan bahwa Islam adalah menyerahkan diri secara lahir. Oleh karena itu, baik mukmin maupun munafik adalah Muslim. Sedangkan iman adalah pembenaran terhadap Allah, para utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat dan menerima qadla dan qadar. Integrasi antara iman dan Islam adalah kesempurnaan (al-kamal). Atas dasar penjelasan itu, ai-Syahrastani juga menunjukkan bahwa Islam adalah pemula; iman adalah menengah; dan ihsan adalah kesempurnaan. Meskipun tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar, umat Islam telah memakai suatu kerangka pemikiran tentang trilogi ajaran Ilahi di atas ke dalam tiga bidang pemikiran Islam: pertama, iman dan berbagai hal yang berhubungan dengannya diletakkan dalam satu bidang pemikiran, yaitu teologi (ilmu kalam); kedua, persoalan Islam dijelaskan dalam bidang syari’at (fikih); dan ketiga, ihsan dipandang sebagai akar tumbuhnya tasauf. [1]

2.      Syariat
Secara kebahasaan, syariat adalah sumber air bagi manusia untuk mendapatkan minuman. Sementara menurut terminologi komunitas sufi, syariat adalah menjalankan segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. [2]
Syariat menuntut seorang salik untuk menjalankan agama Islam dan terus – menerus melaksanakan perintah Allah serta menjauhi larangan – Nya. Inilah yang disebut dengan istiqamah. Segala perintah dan segala larangan pasti jelas terlihat oleh seluruh manusia[3]
Syariat islam adalah hukum dan aturan islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut islam, syariat islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan didunia ini.
3.      Thariqah
Tarikat adalah meneliti dan mengamalkan segala tindakan Nabi.[4] Kata Tarikat di ambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata benda Thoriqah yang secara terminologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun Tarikat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan kami ambil definisi Tarikat menurut Syaikh Muhammad Amin al–Kurdi al-Irbili al- Syafi al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al-qulub adalah:
“Tarikat adalah beramal dengan syariat dengan memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhsoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia- sia; melaksanakan semua ibadah fardhu dan sunnah; yang semuanya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru /syeikh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”
Dari definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa tarikat adalah beramal dengan syariat Islam secara Azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukkan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah). Maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehinggan jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarikat tidak hanya membimbing lewat lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah Saw dan Allah SWT.
Dengan tarikat, seorang salik( seorang yang meniti jalan menuju Allah) berpegang teguh dalam menjalani kondisi yang berat seperti Riyadhah (olah batin) yang dirupakan dengan menghinakan nafsu dengan sedikit makan, sedikit minum, dan sedikit tidur, serta menjauhi menggunakan hal-hal yang mubah secara berlebihan. Semua itu harus dilakukan dengan hanya diniatkan untuk ibadah dan memutus hubungan dengan dunia untuk selanjutnya menuju Allah. [5]
4.       Sufisme
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “sufi”, pandangan umum ialah kata itu berasal dari kata Suf (صوف), yang berati wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata sufi adalah safa(صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari bahasa yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
                        Beberapa definisi sufisme:
1.      Yaitu paham mistik dalam agama islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J De Woestijne).
2.      Yaitu aliran kerohaanian mistik (Mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B.Van Haeringen. Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme berasal dari dalam agama islam
Sufisme adalah isme atau dapat juga dikatakan sebagai ilmu untuk menjalani kehidupan sufistik seorang sufi, yang mana diketahui bahwa akhir dari kesufian dalah awal dari kenabian, yang tentu saja menjadikan kesufian dapat di artikan pencarian kesucian yang tertinggi yang menjadi dasar atau awal kenabian, demikianlah bahwa akhir kesufian hanyalah awal kenabian menjadikan setinggi-tinggi nya tingkat kesufian tidaklah dapat mencapai tingkat kenabian.Sejak abad ke II Hijriah sufisme sudah popular di kalangan masyarakat di kawasan dunia islam sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagamannya para zahid dan abid.
Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad II hijriah dan memasuki abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme.  Sejak kurun waktu itu sufisme berkembang terus kearah penyempurnaannya dan spesifikasi terminology, seperti konsep intuisis, dzaug dan al-kasyf. Kesepatan perkembangan sufisme nampaknya memperoleh dorongan setidaknya dari tiga factor penting yakni: pertama gaya hidupnya yang serba ada yang diperagakan oleh sebagian besar pengusaha negeri aspek ini dorongan yang paling kuat adalah sebagai reaksi kelompok elit dinasti pengusaha.
Selain itu kerangka organisasi sufisme sejalan dengan pergeseran doktrin juga difungsikan untuk memerangi kompromi dan sinkretisme doktrin islam dengan ajaran-ajaran dan praktek-praktek kepercayaan lainnya.
Sufisme atau tasawwuf mengajarkan kita untuk melihat di balik selubung kegelapan yang telah menutupi sistem-sistem kepercayaan kita. Seseorang yang dengan tulus mengikuti program-program latihan sufi kemungkinan setelah beberapa lama melalui berbagai ujian/kesulitan akan menemukan/mendekati suatu keadaan di mana dia dapat “melihat sesuatu sebagaimana adanya”, ketika dia telah dengan istiqamah “mengabdi/melayani/beribadah kepada Tuhan seolah-olah dia telah melihat-Nya”, dan dia benar-benar menyadari bahwa dia berada “di dunia, sekaligus bukan dunia.

B.     ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM

1.      Aliran-Aliran Kalam

Sungguh kenyataan yang ironi, Islam agama yang diyakini sebagai agama rahmat li al-‘alamin oleh penganutnya ternyata tidak selamanya bersifat positif. Salah satu buktinya adalah tahkim. Peristiwa ini membuat bencana bagi umat Islam sehingga terpecah menjadi tiga kelompok: umat Islam kelompok pertama adalah pendukung Mu’awiyah diantaranya adalah Amr bin Ash. Sedangakan kelompok umat Islam yang kedua adalah pendukung Ali bin Abi Thalib. Kelompok Ali bin Abi Thalib menjelang dan setelah tahkim terpecah menjadi dua: umat Islam yang senantisa setia terhadap kekhalifan Ali bin Abi Thalib di antaranya adalah Abu Musa al-Asy’ari; yang kedua adalah umat Islam yang membelot (keluar  dari barisan Ali bin Abi Thalib), mereka menarik dukungannya terhadap Ali dan bersikap menentang terhadap Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kelompok ini dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij yang dipelopori oleh ‘Atab bin A’war dan ‘Urwah bin Jarir.
Pada awalnya, Khawarij merupakan aliran atau faksi politik, karena pada dasarnya, kelompok itu terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat Islam. Akan tetapi, mereka membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri utama aliran mereka, yaitu ajaran tentang pelaku dosa besar. Menurut Khawarij, orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan dosa besar. Orang Islam yang melakukan dosa besar, dalam pandangan mereka berarti telah kafir; kafir setelah masuk Islam berarti murtad; dan orang murtad halal dibunuh berdasarkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda , “ man baddala dinah faqtuluh”.
Atas dasar premis-premis yang dibangunya, Khawarj berkesimpulan bahwa orang yang terlibat dan menyetujui tahkim harus dibunuh. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa al-Asy’ari, Amr bin Ash, dan sahabat-sahabat lain yang menyetujui tahkim. Namun. yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib; Mu’awiyah tidak berhasil mereka bunuh. Di samping itu, mereka juga mencela Usman bin Affan, orang-orang yang terlibat dalam Perang Jamal, dan Perang Sifin. Khawarij beranggapan bahwa dengan membunuh orang-orang yang setuju dengan adanya tahkim adalah suatu ibadah.
Penentuan kafir-mukminya seseoarang tidak lagi masuk wilayah politik, tetapi sudah memasuki wilayah teologi. Oleh karena itu, Khawarij merupakan aliran teologi pertama dalam Islam. Menurut ‘Amir al-Najjar berkesimpulan bahwa penyebab tumbuh dan berkembangnya aliran kalam adalah pertentangan dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khilafah. Sebagian umat Islam khawatir terhadap gagasan Khawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Oleh karena itu, sebagian ulama mencoba bersikap netral secara politik dan tidak mau mengkafirkan para sahabat yang terlibat dan menyetujui tahkim. Umat Islam yang tergabung dalam kelompok ini kemudian dikenal dengan Murji’ah yang dipelopori oleh Ghilan al-Dimasyqi.
Dalam ajaran utama aliran Murji’ah, orang Isalam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukumi kedudukannya dengan hukum dunia; mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga; kedudukan mereka ditentukan dengan hukum akhirat. Sebab, bagi mereka perbuatan maksiat tidak merusak iman sebagaimana perbuatan taat tidak bermanfaat bagi yang kufur. Di samping itu, bagi mereka iman adalah pengetahuan tentang Allah secara mutlak sedangkan kufur adalah ketidaktahuan tentang Tuhan secara mutlak. Oleh karena itu, menurut Murji’ah iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Selain dua aliran di atas, terdapat ajaran yang mencoba menjelaskan kedudukan manusia dan Tuhan dengan penjelasan yang sangat berbeda. Menurut aliran pertama, manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham ini, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Aliran ini kemudian dikenal dengan Qadariyah karena memandang bahwa manusia memiliki kekuatan (qudrah) untuk menentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan perbuatannya. Aliran kedua berpendapat sebaliknya; bahwa dalam hubungan dengan manusia, Tuhan itu Mahakuasa. Karena itu, Tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkan perbuatannya. Menurut aliran ini, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya. Mereka hidup dalam keterpaksaan (jabbar). Oleh karena itu, aliran ini kemudian dikenal dengan nama Jabariyah.
Tidak terdapat bukti otentik tentang orang yang pertama kali membentuk ajaran Qadariyah. Menurut temuan sementara, ajaran ini pertama kali dikenalkan oleh Ma’bad al-Jauhani yang wafat terbunuh dalam perang melawan kekuasaan Bani Umayyah (w. 80 H.) dan Ghilan al-Dimasyiqi yang mengajarkan ajaran Qadariyah di Damaskus, tetapi ia mendapat tantangan dari ‘Umar bin ‘ Abd al-Aziz. Ghilan pun akhirnya dihukum bunuh oleh Hisyam. Selain pengajar Qadariyah, Ghilan juga termasuk pemuka Murji’ah.
Adapun ajaran Jabariyah tampaknya diajarkan pertama kali oleh al-Ja’d bin Dirham, meskipun yang lebih banyak menyebarkannya adalah Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Selain penyebar aliran Jabariyah, ia juga dikenal sebagai pemuka Murji’ah. Jahm bin Shafwan juga menentang kekuasaan Bani Umayyah. Akibatnya, ia ditangkap kemudian dihukum bunuh.
Setelah empat aliran itu muncul dan berkembang, kemudian berkembang suatu ajaran teologi yang didasarkan ananlisis filosofis. Dalam menjelaskan teologi, kelompok ini banyak menggunakan kekuatan akal sehingga mereka digelari  “kaum rasionalis Islam” (Muktazilah). Aliran ini didirikan dan disebarluaskan pertama kali oleh Washil bin Atha. Muktazilah merupakan aliran teologi yang dekat, kalau tidak dikatakan berafiliasi, dengan kekuasaan Dinasti Bani Abbas fase pertama. Karena dekatnya, pada zaman pemerintahan al-Makmun, Muktazilah dijadikan mazhab resmi yang dianut oleh negara. Oleh karena itu, atas dukungan dan inisiatif pemerintahan al-Makmun, diadakan mihnah yang dilaksanakan pada tiga zaman kekuasaan, yaitu zaman al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq yang ternyata gerakan tersebut merugikan umat Islam secara umum, dan aliran Muktazilah secara khusus.
Ajaran pokok aliran Muktazilah adalah panca-ajaran atau Pancasila Muktazilah. Lima ajaran tersebut adalah sebagai berikut.
a)      Keesaan Tuhan (al-tauhid).
b)      Keadilan Tuhan al-‘adl)
c)      Janji dan ancaman (al-wa’d wa al-waid)
d)     Posisi di antara dua tempat (al-manzilah bain al-manzilatain)
e)      Amar makruf nahi munkar (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar).
Setelah kasus mihnah, aliran Muktazilah dibatalkan sebagai mazhab resmi negara oleh al-Mutawakkil, yang kemudian berpihak pada ulama yang mengalami penindasan karena mihnah, terutama Ahmad bin Hanbal. Setelah itu Muktazilah ditentang oleh orang Muktazilah sendiri yang kemudian membentuk aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishak bin Salim bin Isma’il bin ‘Abd Allah bin Musa bin Bial bin Abi Burdah Amr bin Abi Musa al-‘Asyari. Menurut Abu Bakar Isma’il al-Qairawani, Imam al-‘Asy’ari (260-324 H) adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun. Kemudian ia menyatakan diri keluar dari Muktazilah. Setelah itu, ia mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan-gagasan Muktazilah. Ajarannya kemudian dikenal sebagai aliran ahl al-sunnah wal jama’ah.
Ajaran pokok aliran Ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah kemahakuasaan Tuhan yang keadilan-Nya telah tercakup dalam kekuasaan-Nya. Suatu gagasan yamg mirip dengan gagasan Jabariyah. Dalam perkembangannya, aliran ini tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam al-Asy’ari. Para pelanjutnya antara lain Imam Abu Mansyur al-Maturidi, mendirikan aliran Maturidiyah yang ajarannya menurut Harun Nasution lebih dekat dengan Muktazilah. Imam al-Maturidi memiliki pengikut, yaitu al-Bazdawi yang pemikirannya tidak selamanya sejalan dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu, Maturidiah terbagi menjadi dua: golongan Samarkand, yaitu pengikut Imam al-Maturidi; dan golongan Bukhara, yaitu para pengikut Imam al-Bazdawi yang tampaknya lebih dekat kepada ajaran al-Asy’ari. Aliran kalam terakhir yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah adalah aliran Salafi. Aliran ini tidak selamanya sejalan dengan gagasan-gagasan Imam al-Asy’ari terutama karena aliran Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah menggunakan logika (manthiq) dalam menjelaskan teologi, sedangkan aliran salafi menghendaki teologi apa adanya tanpa dimasuki oleh unsur ra’y.   

2.      Aliran-Aliran Fikih

Secara historis, hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad Saw. Dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan Madrasat al-baghdad atau Madrasat al-Hadits dan Madrasat al-Ra,y. Sedangkan Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah menyebutnya sebagai Ahl al-Zhahir dan Ahl al-Ma’na. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Madinah, dan aliran Baghdad atau Kufah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad Saw yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqaha sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Di antara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin al-Musayyab. Salah satu murid Sa’id bin al-Musayyab adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Sedangkan di antara murid Ibnu Syihab al-Zuhri adalah Imam Malik, pendiri aliran Maliki. Di antara ajaran Imam Malik yang paling terkenal adalah ia menjadikan ijmak dan amal ulama madinah sebagai hujah.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad  Saw yang tinggal di Baghdad, terbentuklah aliran ra’yu. Di antara sahabat yang tinggal di Kufah adalah Abdullah bin Mas’ud; salah satu muridnya adalah al-Aswad bin Tazid al-Nakha’i; salah satu muridnya adalah Amir bin Syarahil al-Sya’bi; dan salah satu murid beliau adalah Abu Hanifah yang mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri fikih Abu Hanifah adalah sangat ketat dalam penerimaan hadits dan banyak menggunakan ra’y. Di antara pendapatnya adalah bahwa benda wakaf boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan kecuali wakaf tertentu karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap menjadi milik yang mewakafkan. Istinbath al-ahkam yang digunakannya adalah analogi (al-qiyas); ia menganalogikan wakaf kepada pinjam-meminjam (al-‘ariyyah).
Murid Imam Malik dan Muhammad al-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Imam ini sangat terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan menjadi qaul qadim dan qaul jadid. Salah satu murid Imam al-Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, pendiri aliran Hanabilah.Kemudian Imam Daud al-Zhahiri yang mendirikan aliran Zhahiriyah dan Ibnu Jarir al-Thabari yang mendirikan aliran Jaririyah. Dari sinilah kita mengetahui sejumlah aliran hukum Islam, yaitu Madrasah Madinah, Madrasah Kufah, aliran Hanafi, aliran Malik, aliran al-Syafi’i, aliran Hanbali, aliran Zhahiriyah, dan aliran Jaririyah. Tidak terdapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum Islam, karena banyak aliran yang muncul kemudian menghilang karena tidak ada yang mengembangkannya.
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani menjelaskan bahwa mazhab fikih Islam yang muncul setelah sahabat dan kibar al-tabi’in berjumlah 13 aliran. Tiga belas aliran itu berafiliasi dengan aliran Ahl al-Sunnah. Akan tetapi, tidak semua aliran itu diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukum yang digunakannya. Berikut ini di antara pendiri ketiga belas aliran itu.
a)      Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
b)      Abu Hanifah al-Nu’man bin Stabit bin Zuthi (w. 150 H.)
c)      Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd al-Rahman bin ‘Amr bin Muhammad (w. 157 H.)
d)     Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
e)      Al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H.)
f)       Malik bin Anas al-Bahi (w. 179 H)
g)      Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H.)
h)      Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
i)        Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 H.)
j)        Daud bin ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
k)      Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
l)        Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya beberapa aliran, diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

3.      Aliran-Aliran Tasawuf

Ajaran tasawuf atau mistik Islam pada dasarnya merupakan pengalaman spiritual yang bersifat pribadi. Meskipun demikian, pengalaman ulama yang satu dengan yang lainnya memiliki kesamaan-kesamaan di samping perbedaan-perbedaan yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, dalam tasawuf terdapat petunjuk yang bersifat umum tentang maqamat dan ahwal.
Para penulis ajaran tasawuf, termasuk Harun Nasution memperkirakan adanya unsur-unsur ajaran non-Islam yang mempengaruhi ajaran tasawuf. Unsur-unsur yang dianggap berpengaruh pada ajaran tasawuf adalah kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan materi, ajaran-ajaran Hindu, ajaran Pythagoras tentang kontemplasi, dan filsafat emanasi Plotinus.
Terlepas dari ada-tidaknya pengaruh Kristen, Hindu, filsafat Pythagoras, dan filsafat emanasi Plotinus, yang jelas antara ajaran tasawuf dan ajran-ajaran tersebut terdapat kesamaan-kesamaan. Pada  dasarnya tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi (manusia) dengan Allah. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan kedekatan  manusia dengan Allah; antara lain bahwa Allah itu dekat dengan manusia (Q.S. al-Baqarah : 186), dan Allah lebih dekat kepada manusia dibandingkan urat nadi manusia itu sendiri (Q.S. Qaf : 16).
Pada awalnya, tasawuf merupakan ajaran tentang zuhud. Oleh karena itu, pelakunya disebut zahid (ascetic). Namun, kemudian ia berkembang dan namanya diubah menjadi tasawuf dan pelakunya disebut Shufi. Zahid pertama yang termashur adalah Al-Hasan al-Bashri (642-728 M.). Dia pernah berdebat dengan Washil bin Atha’ dalam bidang teologi. Ajaran tasawuf Al-Hasan al-Bashri yang sangat terkenal adala al-Khauf dan al-raja’. Di antara pendapatnya yang terkenal adalah bahwa “ orang mukmin tidak akan bahagia sebelum berjumpa dengan Tuhan”. 
Zahid lainnya adalah Ibrahim bin Adham (w. 777 M.) dari Khurasan. Di antara pendapatnya, ia pernah berkata, “Cinta kepada dunia menyebabkan orang menjadi tuli dan buta serta membuat manusia menjadi budak”. Zahid dari kalangan perempuan adalah Rabi’ah al-Adawiyah (714-801 M) dari Basrah. Ajarannya yang sangat terkenal adalah tentang cinta kepada Tuhan. Dalam syairnya, ia mengatakan bahwa ia tidak dapat membenci orang lain, bahkan tidak dapat mencintai Nabi Muhammad Saw, karena cintanya hanya untuk Tuhan. Di samping itu, masih ada Sufyan al-Tasuri dan Abu Nasr bisyr al-Hafi.
Masih banyak sufi-sufi lain yang terkenal karena memiliki ciri khas. Di antaranya ajaran tentang hulul dengan teori al-lahut dan al-nasut yang dirumuskan oleh Al-Hallaj; al-ittihad dengan teori fana dan baqa yang dirumuskan oleh Yazid al-Bustami (814-875 M); ma’rifah yang dirumuskan oleh Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M). Di antara pembicara yang dihadirkan dalam seminar Metodologi Studi Islam yang diselenggarakan di Departemen Agama Jakarta (1998) adalah Sa’id Aqiel Siradj (dosen Pasca-sarjana IAIN Jakarta dan Wakil Katib ‘Am Suriyah PBNU). Dalam seminar itu, ia membagi tasawuf menjadi dua: tasawuf khuluqi dan tasawuf falsafi. Pembagian ini erat kaitanya dengan metode tasawuf itu sendiri. Metode tasawuf itu ada tiga: tahalli, takhalli, dan tajalli. Tahalli adalah pengisian diri untuk mendekatkan diri kepada Allah; takhalli adalah pengosongan diri sufi; sedangkan tajalli adalah mukasyafah, ma’rifah, dan musyahadah. Dua cara yang pertama tahalli dan takhalli termasuk khuluqi; sedangkan terakhir termasuk tahaqquq (penyatuan diri dengan Tuhan) dan dengan demikian termasuk tasawuf falsafi. Sedangkan Juhaya S. Praja membagi tasawuf menjadi tiga, yaitu tasawuf ‘amali, tasawuf falsafi, dan tasawuf ‘ilmi. Dalam filsafat emanasi dikatakan bahwa manusia dan alam ini merupakan pancaran dari Tuhan. Manusia sebagai ciptaan-Nya yang terbaik, berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, di dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang harus dikurangi, yaitu kekuatan nabatiyyah dan hayawaniyyah. Karena itu, manusia harus melakukan kegiatan yang berfungsi ganda: pertama, menekan kekuatan nabatiyyah dan hayawaniyyah, dan kedua, pada saat yang sama, memaksimalkan kekuatan al-nathiqah. Usaha itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Para sufi menganjurkan agar kita menjalani maqamat. Oleh karena itu, usaha ini merupakan proses dari bawah ke atas, yang disebut taraki.
Di samping itu, dalam ajaran para sufi dikatakan bahwa Tuhan pun berkehendak untuk menyatu dengan manusia. Suatu keadaan mental yang diperoleh manusia tanpa bisa diusahakan, disebut hal atau ahwal. Ahwal adalah suatu keadaan mental sufi yang sangat dekat dan bahkan menyatu dengan Tuhan. Proses ini dinamai tanazul. Kedekatan sufi dengan Tuhan dirumuskan oleh sufi dengan rumusan yang berbeda. Rabi’ah yang merumuskan kedekatannya dengan Tuhan dalam mahabbah; Yazid al-Bustami merumuskannya dalam al-ittihad; al-Hallaj merumuskannya dalam hulul; dan al-Ghazali merumuskannya dalam ma’rifah. Dengan demikian, ada hubungan timbal balik antara sufi dengan Tuhan.

4.      Aliran Filsafat
Filsafat Islam hakekatnya bersumber dari wahyu sebagai inti dan akal sebagai pendukungnya. Aliran ini muncul menyusul dari pergolakan internal dikalangan umat Islam sendiri setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW disamping reaksi terhadap pengaruh filsafat Yunani dan peradaban asing terhadap umat Islam. Dengan perkembangan baru seperti ini timbullah berbagai perubahan terutama perubahan pemikiran yang membentuk berbagai mazhab dan aliran tertentu.[6]
Menurut Kartanegara dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1.      Filsafat Islam Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibn Rusyd, dan Nashir al Din Thusi.
2.    Filsafat Islam Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul. Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
3.    Filsafat Islam, Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4.    Filsafat Islam, Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.
Dalam pandangan Filsafat Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa ada hubungan dan kekuasaan ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari  ciptaannya. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal ilahi dan semakin mempertebal keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh sebab  itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.

BAB III
KESIMPULAN
1.      Dimensi-dimensi dalam islam yaitu  iman, islam, ihsan,  syariat, tariqat dan sufisme.
2.      iman adalah meyakini dan mempercayai akan Allah beserta malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,rasul-rasulNya, hari akhir, dan qadar yang serta qadar yan buruk dari-Nya
3.      iman itu bukan hanya dengan ucapan akan tetapi juga membenarkan dengan hati serta melakukan dengan anggota
4.      islam itu adalah mengerjakan rukun yang 5 yaitu bersyahadataini, mendirikan salat,menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, serta melaksanakan haji bagi yang berkuasa
5.      ihsan itu adalah sesuatu perbuatan yang tujuannya hanya untuk memperoleh ridha Allah. tingkatan ihsan ini tingkatan yang lebih tinggi dari ikhlas
6.      syariat ini adalah hukum agama islam yang kita jalankan dalam kehidupan di dunia dengan balasan di hari akhirat
7.      tariqat ini merupakan jalan kita untuk lebih dekat dengan Allah atau jalan untuk ta’abud kepada Allah
8.      sufisme merupakan hasil dari syariat ( shalat, zakat, puasa, dll) dan tariqaht (zikir, tafakkur, dll). sufisme ini juga merupakan tingkatan terakhir (makrifat dan hakikat) yang di tempuh oleh seseorang dalam mencapai tingkat kesufian
9.      aliran-aliran dalam pemikiran islam yaitu aliran kalam, aliran fikh,  aliran tasawuf,
10.  aliran kalam sama juga dengan ketauhidan, yaitu aliran yang sangat penting dalam beragama
11.  aliran fikh yaitu aliran yang membicarakan hukum-hukum dalam agama
12.  aliran tasawuf ini menjadi aliran yang menjaga ketauhidan dan kepahaman dalam beragama.
13.  aliran-aliran dalam pemikiran islam ini sangat erat hubungannya dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain.


[1] Atang ABD. Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2009) hal. 149-164.
[2] Syaikh Muhammad Nawawi Banten, Manajemen Hidup dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004), hal. 14.
[3] Ibid., hal. 16,
[4] Ibid., hal. 14
[5] Syekh Muhammad Nawawi Banten, Manajemen Hidup dalam Islam,…, hal. 15
[6] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,(Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 1990). hal. 196



Baca Juga Artiker Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DAFTAR ISI