DIMENSI-DIMENSI DALAM ISLAM
OLEH
KELOMPOK
JJJ
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pemikiran
islam, terdapat dimensi – dimensi dan aliran – aliran yang menjadi tuntunan
bagi umat islam. Dalam pemikiran Islam terdapat berbagai macam dimensi,
diantaranya Islam, Iman, Ihsan, syarit, tarikat, dan sufisme, Dimana dimensi – dimensi ini menjadi sebuah
rujukan ajaran dalam islam untuk mencapai keimanan yang hakiki. Dalam iman,
islam, ihsan, tarikat, syariah, dan sufisme manusia diajarkan untuk melakukan
kegiatan – kegiatan yang dapat menambah dan memperkuat iman mereka. Dengan
menjalankan dimensi ini manusia dapat mencapai derajat paling tinggi dari mulai
ahwal hingga mencapai puncak hakikat.
Sedangkan dalam aliran-aliran pemikiran islam, terdapat
beberapa aliran seperti aliran kalam, aliran fiqh, aliran tasawuf, dan aliran
filsafat. Kesemua aliran ini merupakan suatu pegangan, kepercayaan, dan
tuntunan yang dijalankan oleh seseorang supaya hidupnya menjadi terarah. untuk
lebih jelasnya, akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DIMENSI-DIMENSI DALAM ISLAM
1.
Islam, Iman, dan Ihsan
Dimensi –dimensi Islam yang dimaksud
pada bagian ini adalah keislaman seseorang, yaitu iman, islam dan ihsan.
Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai trilogi ajaran Ilahi.
Dimensi-dimensi Islam berawal dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dimuat dalam masing-masing kitab sahihnya yang
menceritakan dialog antara Nabi Muhammad Saw dan Malaikat Jibril tentang
trilogi ajaran Ilahi:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يوما بارزا للناس فاتاه رجل فقال: يارسول
الله ! ماالايمان؟ قال: أن تؤمن
بالله
وملائكته و كتابه و رسله و تؤمن با لبعث الاخر قال:يا رسول الله ما الاسلام؟ قال
:الاسلام ان تعبد الله ولا تشرك به شيئا و تقيم الصلاة المكتوبة و تؤدي الزكاة
المفروضة و تصوم رمضان. قال: يا رسول الله ! ماالاحسان؟ قال: ان تعبد الله كأنك
تراه فان لم تكن تراه فانه يراك.
“ Nabi Muhammad Saw keluar dan (berada di sekitar sahabat)
seseorang datang menghadap beliau dan bertanya: “ Hai Rasul Allah, apakah yang
dimaksud dengan iman? “ Beliau menjawab: “ Iman adalah engkau percaya kepada
Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para utusan-Nya, dan
percaya kepada kebangkitan.” Laki-laki itu kemudian bertanya lagi: “ Apakah
yang dimaksud dengan Islam? “ Beliau menjawab: “ Islam adalah engkau menyembah
Allah dan tidak musyrik kepada-Nya, engkau tegakkan salat wajib, engkau
tunaikan zakat wajib, dan engkau berpuasa pada bulan Ramadhan.” Laki-laki itu
kemudian bertanya lagi: “ Apakah yang dimaksud dengan ihsan?” Nabi Muhammad Saw
menjawab: “ Engkau sembah Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya; apabila engkau
tidak melihat-Nya maka (engkau berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu...” (Bukhari,
I, t.th: 23).
Hadits di atas memberikan ide kepada
umat Islam Sunni tentang rukun iman yang enam, rukun Islam yang lima, dan
penghayatan terhadap Tuhan yang Mahahadir dalam hidup. Sebenarnya, hal itu
hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Antara yang satu dengan
yang lainnya memiliki keterkaitan.
Setiap pemeluk agama Islam
mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidak absah tanpa iman, dan iman tidak
sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa Islam. Dalam
penelitian lebih lanjut, sering terjadi tumpang tindih antara tiga istilah
tersebut: dalam iman terdapat Islam dan ihsan; dalam Islam terdapat iman dan
ihsan; dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari sisi itulah, Nurcholish
Majdid (1994: 463) melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.
Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa din itu
terdiri dari tiga unsur, yaitu Islam, iman dan ihsan. Dalam tiga unsur itu
terselip makna kejenjangan (tingkatan): orang mulai dengan Islam, kemudian
berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Rujukan Ibnu Taimiah dalam
mengemukakan pendapatnya adalah surat al-Fathir (35) ayat 32: “ Kemudian
Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka
sendiri; dan di antara mereka ada yang pertengahan; dan di antara mereka ada
pula yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah...”
Di dalam al-Quran dan terjemahnya
yang diterbitkan Departemen Agama dijelaskan sebagai berikut: pertama, “
orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri “ (fa minhum zhalim li nafsih) adalah
orang yang lebih banyak kesalahannya dari pada kebaikannya; kedua, “
orang-orang pertengahan ” (muqtashid) adalah orang-orang yang antara
kebaikan dengan kejelekannya berbanding; dan ketiga, “ orang-orang yang
lebih dulu berbuat kebaikan ” (sabiq bi al-khairat) adalah orang-orang
yang kebaikannya amat banyak dan jarang melakukan kesalahan. (Depag, 1985: 701)
Dengan penjelasan yang agak berbeda,
Ibnu Taimiah menjelaskan sebagai berikut: pertama, orang-orang yang menerima
warisan kitab suci dengan mempercayai dan berpegang teguh pada
ajaran-ajarannya, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan zalim, adalah orang
yang baru ber-Islam, suatu tingkat permulaan dalam kebenaran; kedua, orang yang
menerima warisan kitab suci itu dapat berkembang menjadi seorang mukmin,
tingkat menengah, yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan zalim namun
perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja; ketiga, perjalanan mukmin itu (yang
telah terbebas dari perbuatan zalim) berkembang perbuatan kebajikannya sehingga
ia menjadi pelomba (sabiq) perbuatan kebajikan; maka ia mencapai derajat ihsan.
“ Orang yang telah mencapai tingkat ihsan,” kata Ibnu Timiah,” akan masuk surga
tanpa mengalami azab,”
Imam al-Syahrastani menjelaskan
bahwa Islam adalah menyerahkan diri secara lahir. Oleh karena itu, baik mukmin
maupun munafik adalah Muslim. Sedangkan iman adalah pembenaran terhadap Allah,
para utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat dan menerima qadla dan qadar.
Integrasi antara iman dan Islam adalah kesempurnaan (al-kamal). Atas dasar
penjelasan itu, ai-Syahrastani juga menunjukkan bahwa Islam adalah pemula; iman
adalah menengah; dan ihsan adalah kesempurnaan. Meskipun tidak dapat dikatakan
sepenuhnya benar, umat Islam telah memakai suatu kerangka pemikiran tentang
trilogi ajaran Ilahi di atas ke dalam tiga bidang pemikiran Islam: pertama,
iman dan berbagai hal yang berhubungan dengannya diletakkan dalam satu bidang
pemikiran, yaitu teologi (ilmu kalam); kedua, persoalan Islam dijelaskan
dalam bidang syari’at (fikih); dan ketiga, ihsan dipandang sebagai akar
tumbuhnya tasauf. [1]
2.
Syariat
Secara
kebahasaan, syariat adalah sumber air bagi manusia untuk mendapatkan minuman.
Sementara menurut terminologi komunitas sufi, syariat adalah menjalankan segala
yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. [2]
Syariat
menuntut seorang salik untuk menjalankan agama Islam dan terus – menerus
melaksanakan perintah Allah serta menjauhi larangan – Nya. Inilah yang disebut
dengan istiqamah. Segala perintah dan segala larangan pasti jelas terlihat oleh
seluruh manusia[3]
Syariat islam
adalah hukum dan aturan islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat islam juga berisi penyelesaian
masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut islam, syariat islam
merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia
dan kehidupan didunia ini.
3.
Thariqah
Tarikat adalah
meneliti dan mengamalkan segala tindakan Nabi.[4]
Kata Tarikat di ambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata benda Thoriqah
yang secara terminologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun Tarikat
dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan kami ambil
definisi Tarikat menurut Syaikh Muhammad Amin al–Kurdi al-Irbili al- Syafi
al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al-qulub adalah:
“Tarikat adalah
beramal dengan syariat dengan memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhsoh
(ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah
yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat
lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan
semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia- sia; melaksanakan
semua ibadah fardhu dan sunnah; yang semuanya ini di bawah arahan, naungan dan
bimbingan seorang guru /syeikh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya
(layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”
Dari definisi
diatas dapat kita simpulkan bahwa tarikat adalah beramal dengan syariat Islam
secara Azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan) yang semuanya ini
dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukkan jalan yang aman dan
selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah). Maka posisi guru di sini adalah
seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehinggan
jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan
sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui,
maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta
petunjuk. Namun mursyid dalam tarikat tidak hanya membimbing lewat lahiriah
saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara
seorang murid/salik dengan Rasulullah Saw dan Allah SWT.
Dengan tarikat,
seorang salik( seorang yang meniti jalan menuju Allah) berpegang teguh dalam
menjalani kondisi yang berat seperti Riyadhah (olah batin) yang dirupakan
dengan menghinakan nafsu dengan sedikit makan, sedikit minum, dan sedikit
tidur, serta menjauhi menggunakan hal-hal yang mubah secara berlebihan. Semua
itu harus dilakukan dengan hanya diniatkan untuk ibadah dan memutus hubungan
dengan dunia untuk selanjutnya menuju Allah. [5]
4.
Sufisme
Ada beberapa
sumber perihal etimologi dari kata “sufi”, pandangan umum ialah kata itu
berasal dari kata Suf (صوف), yang berati wol, merujuk kepada jubah sederhana yang
dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi mengenakan jubah atau
pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata sufi
adalah safa(صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada
sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf
berasal dari bahasa yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Beberapa definisi sufisme:
1.
Yaitu
paham mistik dalam agama islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga
di India (Mr. G.B.J De Woestijne).
2.
Yaitu
aliran kerohaanian mistik (Mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B.Van
Haeringen. Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme berasal dari dalam agama
islam
Sufisme adalah isme atau dapat
juga dikatakan sebagai ilmu untuk menjalani kehidupan sufistik seorang sufi,
yang mana diketahui bahwa akhir dari kesufian dalah awal dari
kenabian, yang tentu saja menjadikan kesufian dapat di artikan pencarian
kesucian yang tertinggi yang menjadi dasar atau awal kenabian, demikianlah
bahwa akhir kesufian hanyalah awal kenabian menjadikan setinggi-tinggi nya
tingkat kesufian tidaklah dapat mencapai tingkat kenabian.Sejak abad ke II
Hijriah sufisme sudah popular di kalangan masyarakat di kawasan dunia islam
sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagamannya para zahid dan abid.
Fase awal ini juga disebut
sebagai fase asketisme yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam
peradaban islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu yang
lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk
beribadah dan mengabaikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung
sampai akhir abad II hijriah dan memasuki abad ke III sudah menampakkan adanya
peralihan dari asketisme ke sufisme. Sejak kurun waktu itu sufisme
berkembang terus kearah penyempurnaannya dan spesifikasi terminology, seperti
konsep intuisis, dzaug dan al-kasyf. Kesepatan perkembangan sufisme nampaknya
memperoleh dorongan setidaknya dari tiga factor penting yakni: pertama gaya
hidupnya yang serba ada yang diperagakan oleh sebagian besar pengusaha negeri
aspek ini dorongan yang paling kuat adalah sebagai reaksi kelompok elit dinasti
pengusaha.
Selain itu kerangka organisasi
sufisme sejalan dengan pergeseran doktrin juga difungsikan untuk memerangi
kompromi dan sinkretisme doktrin islam dengan ajaran-ajaran dan praktek-praktek
kepercayaan lainnya.
Sufisme atau tasawwuf mengajarkan
kita untuk melihat di balik selubung kegelapan yang telah menutupi
sistem-sistem kepercayaan kita. Seseorang yang dengan tulus mengikuti
program-program latihan sufi kemungkinan setelah beberapa lama melalui berbagai
ujian/kesulitan akan menemukan/mendekati suatu keadaan di mana dia dapat
“melihat sesuatu sebagaimana adanya”, ketika dia telah dengan istiqamah
“mengabdi/melayani/beribadah kepada Tuhan seolah-olah dia telah melihat-Nya”,
dan dia benar-benar menyadari bahwa dia berada “di dunia, sekaligus bukan
dunia.
B.
ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM
1.
Aliran-Aliran Kalam
Sungguh kenyataan yang ironi, Islam agama yang diyakini sebagai
agama rahmat li al-‘alamin oleh penganutnya ternyata tidak selamanya bersifat
positif. Salah satu buktinya adalah tahkim. Peristiwa ini membuat bencana bagi
umat Islam sehingga terpecah menjadi tiga kelompok: umat Islam kelompok pertama
adalah pendukung Mu’awiyah diantaranya adalah Amr bin Ash. Sedangakan kelompok
umat Islam yang kedua adalah pendukung Ali bin Abi Thalib. Kelompok Ali bin Abi
Thalib menjelang dan setelah tahkim terpecah menjadi dua: umat Islam yang
senantisa setia terhadap kekhalifan Ali bin Abi Thalib di antaranya adalah Abu
Musa al-Asy’ari; yang kedua adalah umat Islam yang membelot (keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib), mereka
menarik dukungannya terhadap Ali dan bersikap menentang terhadap Ali bin Abi
Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kelompok ini dalam sejarah dikenal dengan
nama Khawarij yang dipelopori oleh ‘Atab bin A’war dan ‘Urwah bin Jarir.
Pada awalnya, Khawarij merupakan aliran atau faksi politik, karena
pada dasarnya, kelompok itu terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat Islam.
Akan tetapi, mereka membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri utama
aliran mereka, yaitu ajaran tentang pelaku dosa besar. Menurut Khawarij,
orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan dosa besar.
Orang Islam yang melakukan dosa besar, dalam pandangan mereka berarti telah
kafir; kafir setelah masuk Islam berarti murtad; dan orang murtad halal dibunuh
berdasarkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda , “
man baddala dinah faqtuluh”.
Atas dasar premis-premis yang dibangunya, Khawarj berkesimpulan
bahwa orang yang terlibat dan menyetujui tahkim harus dibunuh. Oleh karena itu,
mereka memutuskan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
Abu Musa al-Asy’ari, Amr bin Ash, dan sahabat-sahabat lain yang menyetujui
tahkim. Namun. yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib; Mu’awiyah tidak
berhasil mereka bunuh. Di samping itu, mereka juga mencela Usman bin Affan,
orang-orang yang terlibat dalam Perang Jamal, dan Perang Sifin. Khawarij
beranggapan bahwa dengan membunuh orang-orang yang setuju dengan adanya tahkim
adalah suatu ibadah.
Penentuan kafir-mukminya seseoarang tidak lagi masuk wilayah
politik, tetapi sudah memasuki wilayah teologi. Oleh karena itu, Khawarij
merupakan aliran teologi pertama dalam Islam. Menurut ‘Amir al-Najjar
berkesimpulan bahwa penyebab tumbuh dan berkembangnya aliran kalam adalah pertentangan
dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khilafah. Sebagian umat Islam
khawatir terhadap gagasan Khawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Oleh karena itu,
sebagian ulama mencoba bersikap netral secara politik dan tidak mau
mengkafirkan para sahabat yang terlibat dan menyetujui tahkim. Umat Islam yang
tergabung dalam kelompok ini kemudian dikenal dengan Murji’ah yang dipelopori
oleh Ghilan al-Dimasyqi.
Dalam ajaran utama aliran Murji’ah, orang Isalam yang melakukan
dosa besar tidak boleh dihukumi kedudukannya dengan hukum dunia; mereka tidak
boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga; kedudukan mereka
ditentukan dengan hukum akhirat. Sebab, bagi mereka perbuatan maksiat tidak
merusak iman sebagaimana perbuatan taat tidak bermanfaat bagi yang kufur. Di
samping itu, bagi mereka iman adalah pengetahuan tentang Allah secara mutlak
sedangkan kufur adalah ketidaktahuan tentang Tuhan secara mutlak. Oleh karena
itu, menurut Murji’ah iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Selain dua
aliran di atas, terdapat ajaran yang mencoba menjelaskan kedudukan manusia dan
Tuhan dengan penjelasan yang sangat berbeda. Menurut aliran pertama, manusia
memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.
Menurut paham ini, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Aliran ini kemudian dikenal dengan Qadariyah
karena memandang bahwa manusia memiliki kekuatan (qudrah) untuk menentukan
perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan perbuatannya. Aliran kedua berpendapat
sebaliknya; bahwa dalam hubungan dengan manusia, Tuhan itu Mahakuasa. Karena
itu, Tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkan
perbuatannya. Menurut aliran ini, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya. Mereka hidup dalam
keterpaksaan (jabbar). Oleh karena itu, aliran ini kemudian dikenal dengan nama
Jabariyah.
Tidak terdapat bukti otentik tentang orang yang pertama kali
membentuk ajaran Qadariyah. Menurut temuan sementara, ajaran ini pertama kali
dikenalkan oleh Ma’bad al-Jauhani yang wafat terbunuh dalam perang melawan
kekuasaan Bani Umayyah (w. 80 H.) dan Ghilan al-Dimasyiqi yang mengajarkan
ajaran Qadariyah di Damaskus, tetapi ia mendapat tantangan dari ‘Umar bin ‘ Abd
al-Aziz. Ghilan pun akhirnya dihukum bunuh oleh Hisyam. Selain pengajar
Qadariyah, Ghilan juga termasuk pemuka Murji’ah.
Adapun ajaran Jabariyah tampaknya diajarkan pertama kali oleh
al-Ja’d bin Dirham, meskipun yang lebih banyak menyebarkannya adalah Jahm bin
Shafwan dari Khurasan. Selain penyebar aliran Jabariyah, ia juga dikenal
sebagai pemuka Murji’ah. Jahm bin Shafwan juga menentang kekuasaan Bani
Umayyah. Akibatnya, ia ditangkap kemudian dihukum bunuh.
Setelah empat aliran itu muncul dan berkembang, kemudian berkembang
suatu ajaran teologi yang didasarkan ananlisis filosofis. Dalam menjelaskan
teologi, kelompok ini banyak menggunakan kekuatan akal sehingga mereka digelari “kaum rasionalis Islam” (Muktazilah). Aliran
ini didirikan dan disebarluaskan pertama kali oleh Washil bin Atha. Muktazilah
merupakan aliran teologi yang dekat, kalau tidak dikatakan berafiliasi, dengan
kekuasaan Dinasti Bani Abbas fase pertama. Karena dekatnya, pada zaman
pemerintahan al-Makmun, Muktazilah dijadikan mazhab resmi yang dianut oleh
negara. Oleh karena itu, atas dukungan dan inisiatif pemerintahan al-Makmun,
diadakan mihnah yang dilaksanakan pada tiga zaman kekuasaan, yaitu zaman al-Makmun,
al-Mu’tashim, dan al-Watsiq yang ternyata gerakan tersebut merugikan umat Islam
secara umum, dan aliran Muktazilah secara khusus.
Ajaran pokok aliran Muktazilah adalah panca-ajaran atau Pancasila
Muktazilah. Lima ajaran tersebut adalah sebagai berikut.
a)
Keesaan
Tuhan (al-tauhid).
b)
Keadilan
Tuhan al-‘adl)
c)
Janji
dan ancaman (al-wa’d wa al-waid)
d)
Posisi
di antara dua tempat (al-manzilah bain al-manzilatain)
e)
Amar
makruf nahi munkar (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar).
Setelah kasus mihnah, aliran Muktazilah dibatalkan sebagai mazhab
resmi negara oleh al-Mutawakkil, yang kemudian berpihak pada ulama yang
mengalami penindasan karena mihnah, terutama Ahmad bin Hanbal. Setelah itu
Muktazilah ditentang oleh orang Muktazilah sendiri yang kemudian membentuk
aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Abi
Basyar Ishak bin Salim bin Isma’il bin ‘Abd Allah bin Musa bin Bial bin Abi
Burdah Amr bin Abi Musa al-‘Asyari. Menurut Abu Bakar Isma’il al-Qairawani,
Imam al-‘Asy’ari (260-324 H) adalah seorang penganut Muktazilah selama 40
tahun. Kemudian ia menyatakan diri keluar dari Muktazilah. Setelah itu, ia
mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan-gagasan
Muktazilah. Ajarannya kemudian dikenal sebagai aliran ahl al-sunnah wal
jama’ah.
Ajaran pokok aliran Ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah
kemahakuasaan Tuhan yang keadilan-Nya telah tercakup dalam kekuasaan-Nya. Suatu
gagasan yamg mirip dengan gagasan Jabariyah. Dalam perkembangannya, aliran ini
tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam al-Asy’ari. Para pelanjutnya
antara lain Imam Abu Mansyur al-Maturidi, mendirikan aliran Maturidiyah yang
ajarannya menurut Harun Nasution lebih dekat dengan Muktazilah. Imam
al-Maturidi memiliki pengikut, yaitu al-Bazdawi yang pemikirannya tidak
selamanya sejalan dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu, Maturidiah terbagi
menjadi dua: golongan Samarkand, yaitu pengikut Imam al-Maturidi; dan golongan
Bukhara, yaitu para pengikut Imam al-Bazdawi yang tampaknya lebih dekat kepada
ajaran al-Asy’ari. Aliran kalam terakhir yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah
adalah aliran Salafi. Aliran ini tidak selamanya sejalan dengan gagasan-gagasan
Imam al-Asy’ari terutama karena aliran Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah menggunakan
logika (manthiq) dalam menjelaskan teologi, sedangkan aliran salafi menghendaki
teologi apa adanya tanpa dimasuki oleh unsur ra’y.
2.
Aliran-Aliran Fikih
Secara historis, hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman
sahabat Nabi Muhammad Saw. Dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan
Madrasat al-baghdad atau Madrasat al-Hadits dan Madrasat al-Ra,y. Sedangkan
Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah menyebutnya sebagai Ahl al-Zhahir dan Ahl al-Ma’na.
Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Madinah, dan aliran
Baghdad atau Kufah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota
tersebut.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad Saw yang tinggal di Madinah,
terbentuklah fuqaha sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan
guru-gurunya dari kalangan sahabat. Di antara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin
al-Musayyab. Salah satu murid Sa’id bin al-Musayyab adalah Ibnu Syihab
al-Zuhri. Sedangkan di antara murid Ibnu Syihab al-Zuhri adalah Imam Malik,
pendiri aliran Maliki. Di antara ajaran Imam Malik yang paling terkenal adalah
ia menjadikan ijmak dan amal ulama madinah sebagai hujah.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad
Saw yang tinggal di Baghdad, terbentuklah aliran ra’yu. Di antara
sahabat yang tinggal di Kufah adalah Abdullah bin Mas’ud; salah satu muridnya
adalah al-Aswad bin Tazid al-Nakha’i; salah satu muridnya adalah Amir bin
Syarahil al-Sya’bi; dan salah satu murid beliau adalah Abu Hanifah yang
mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri fikih Abu Hanifah adalah sangat ketat
dalam penerimaan hadits dan banyak menggunakan ra’y. Di antara pendapatnya
adalah bahwa benda wakaf boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan kecuali wakaf
tertentu karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap
menjadi milik yang mewakafkan. Istinbath al-ahkam yang digunakannya adalah
analogi (al-qiyas); ia menganalogikan wakaf kepada pinjam-meminjam
(al-‘ariyyah).
Murid Imam Malik dan Muhammad al-Syaibani (sahabat dan penerus
gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Imam ini sangat
terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan
menjadi qaul qadim dan qaul jadid. Salah satu murid Imam
al-Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, pendiri aliran Hanabilah.Kemudian Imam Daud
al-Zhahiri yang mendirikan aliran Zhahiriyah dan Ibnu Jarir al-Thabari yang
mendirikan aliran Jaririyah. Dari sinilah kita mengetahui sejumlah aliran hukum
Islam, yaitu Madrasah Madinah, Madrasah Kufah, aliran Hanafi, aliran Malik,
aliran al-Syafi’i, aliran Hanbali, aliran Zhahiriyah, dan aliran Jaririyah.
Tidak terdapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum Islam,
karena banyak aliran yang muncul kemudian menghilang karena tidak ada yang
mengembangkannya.
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani menjelaskan bahwa mazhab fikih Islam
yang muncul setelah sahabat dan kibar al-tabi’in berjumlah 13 aliran. Tiga
belas aliran itu berafiliasi dengan aliran Ahl al-Sunnah. Akan tetapi, tidak
semua aliran itu diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukum yang
digunakannya. Berikut ini di antara pendiri ketiga belas aliran itu.
a)
Abu
Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
b)
Abu
Hanifah al-Nu’man bin Stabit bin Zuthi (w. 150 H.)
c)
Al-Auza’i
Abu ‘Amr ‘Abd al-Rahman bin ‘Amr bin Muhammad (w. 157 H.)
d)
Sufyan
bin Sa’id bin Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
e)
Al-Laits
bin Sa’ad (w. 175 H.)
f)
Malik
bin Anas al-Bahi (w. 179 H)
g)
Sufyan
bin ‘Uyainah (w. 198 H.)
h)
Muhammad
bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
i)
Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 H.)
j)
Daud
bin ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
k)
Ishaq
bin Rahawaih (w. 238 H.)
l)
Abu
Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
Aliran
hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya beberapa
aliran, diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
3.
Aliran-Aliran Tasawuf
Ajaran tasawuf atau mistik Islam pada dasarnya merupakan pengalaman
spiritual yang bersifat pribadi. Meskipun demikian, pengalaman ulama yang satu
dengan yang lainnya memiliki kesamaan-kesamaan di samping perbedaan-perbedaan
yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, dalam tasawuf terdapat petunjuk
yang bersifat umum tentang maqamat dan ahwal.
Para penulis ajaran tasawuf, termasuk Harun Nasution memperkirakan
adanya unsur-unsur ajaran non-Islam yang mempengaruhi ajaran tasawuf.
Unsur-unsur yang dianggap berpengaruh pada ajaran tasawuf adalah kebiasaan
rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan materi, ajaran-ajaran Hindu,
ajaran Pythagoras tentang kontemplasi, dan filsafat emanasi Plotinus.
Terlepas dari ada-tidaknya pengaruh Kristen, Hindu, filsafat
Pythagoras, dan filsafat emanasi Plotinus, yang jelas antara ajaran tasawuf dan
ajran-ajaran tersebut terdapat kesamaan-kesamaan. Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran yang
membicarakan kedekatan antara sufi (manusia) dengan Allah. Dalam al-Quran
terdapat beberapa ayat yang menunjukkan kedekatan manusia dengan Allah; antara lain bahwa Allah
itu dekat dengan manusia (Q.S. al-Baqarah : 186), dan Allah lebih dekat kepada
manusia dibandingkan urat nadi manusia itu sendiri (Q.S. Qaf : 16).
Pada awalnya, tasawuf merupakan ajaran tentang zuhud. Oleh karena
itu, pelakunya disebut zahid (ascetic). Namun, kemudian ia berkembang dan
namanya diubah menjadi tasawuf dan pelakunya disebut Shufi. Zahid pertama yang
termashur adalah Al-Hasan al-Bashri (642-728 M.). Dia pernah berdebat dengan
Washil bin Atha’ dalam bidang teologi. Ajaran tasawuf Al-Hasan al-Bashri yang
sangat terkenal adala al-Khauf dan al-raja’. Di antara pendapatnya yang
terkenal adalah bahwa “ orang mukmin tidak akan bahagia sebelum berjumpa dengan
Tuhan”.
Zahid lainnya adalah Ibrahim bin Adham (w. 777 M.) dari Khurasan.
Di antara pendapatnya, ia pernah berkata, “Cinta kepada dunia menyebabkan orang
menjadi tuli dan buta serta membuat manusia menjadi budak”. Zahid dari kalangan
perempuan adalah Rabi’ah al-Adawiyah (714-801 M) dari Basrah. Ajarannya yang
sangat terkenal adalah tentang cinta kepada Tuhan. Dalam syairnya, ia mengatakan
bahwa ia tidak dapat membenci orang lain, bahkan tidak dapat mencintai Nabi
Muhammad Saw, karena cintanya hanya untuk Tuhan. Di samping itu, masih ada
Sufyan al-Tasuri dan Abu Nasr bisyr al-Hafi.
Masih banyak sufi-sufi lain yang terkenal karena memiliki ciri
khas. Di antaranya ajaran tentang hulul dengan teori al-lahut dan al-nasut yang
dirumuskan oleh Al-Hallaj; al-ittihad dengan teori fana dan baqa yang
dirumuskan oleh Yazid al-Bustami (814-875 M); ma’rifah yang dirumuskan oleh Abu
Hamid al-Ghazali (w. 1111 M). Di antara pembicara yang dihadirkan dalam seminar
Metodologi Studi Islam yang diselenggarakan di Departemen Agama Jakarta (1998)
adalah Sa’id Aqiel Siradj (dosen Pasca-sarjana IAIN Jakarta dan Wakil Katib ‘Am
Suriyah PBNU). Dalam seminar itu, ia membagi tasawuf menjadi dua: tasawuf
khuluqi dan tasawuf falsafi. Pembagian ini erat kaitanya dengan metode tasawuf
itu sendiri. Metode tasawuf itu ada tiga: tahalli, takhalli, dan tajalli.
Tahalli adalah pengisian diri untuk mendekatkan diri kepada Allah; takhalli
adalah pengosongan diri sufi; sedangkan tajalli adalah mukasyafah, ma’rifah,
dan musyahadah. Dua cara yang pertama tahalli dan takhalli termasuk khuluqi;
sedangkan terakhir termasuk tahaqquq (penyatuan diri dengan Tuhan) dan dengan
demikian termasuk tasawuf falsafi. Sedangkan Juhaya S. Praja membagi tasawuf
menjadi tiga, yaitu tasawuf ‘amali, tasawuf falsafi, dan tasawuf ‘ilmi. Dalam
filsafat emanasi dikatakan bahwa manusia dan alam ini merupakan pancaran dari
Tuhan. Manusia sebagai ciptaan-Nya yang terbaik, berusaha mendekatkan diri
kepada Tuhan. Akan tetapi, di dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang
harus dikurangi, yaitu kekuatan nabatiyyah dan hayawaniyyah. Karena itu,
manusia harus melakukan kegiatan yang berfungsi ganda: pertama, menekan
kekuatan nabatiyyah dan hayawaniyyah, dan kedua, pada saat yang sama,
memaksimalkan kekuatan al-nathiqah. Usaha itu dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Para sufi menganjurkan agar kita menjalani maqamat. Oleh karena itu,
usaha ini merupakan proses dari bawah ke atas, yang disebut taraki.
Di samping itu, dalam ajaran para sufi dikatakan bahwa Tuhan pun
berkehendak untuk menyatu dengan manusia. Suatu keadaan mental yang diperoleh
manusia tanpa bisa diusahakan, disebut hal atau ahwal. Ahwal adalah suatu
keadaan mental sufi yang sangat dekat dan bahkan menyatu dengan Tuhan. Proses
ini dinamai tanazul. Kedekatan sufi dengan Tuhan dirumuskan oleh sufi dengan
rumusan yang berbeda. Rabi’ah yang merumuskan kedekatannya dengan Tuhan dalam
mahabbah; Yazid al-Bustami merumuskannya dalam al-ittihad; al-Hallaj
merumuskannya dalam hulul; dan al-Ghazali merumuskannya dalam ma’rifah. Dengan
demikian, ada hubungan timbal balik antara sufi dengan Tuhan.
4.
Aliran Filsafat
Filsafat Islam hakekatnya bersumber dari wahyu sebagai inti dan akal sebagai
pendukungnya. Aliran ini muncul menyusul dari pergolakan internal dikalangan
umat Islam sendiri setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW disamping reaksi terhadap
pengaruh filsafat Yunani dan peradaban asing terhadap umat Islam. Dengan
perkembangan baru seperti ini timbullah berbagai perubahan terutama perubahan
pemikiran yang membentuk berbagai mazhab dan aliran tertentu.[6]
Menurut
Kartanegara dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1.
Filsafat Islam Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk
kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika
mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau
epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal
(silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya
yang terkenal yakni: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibn Rusyd, dan Nashir al
Din Thusi.
2.
Filsafat Islam Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh
pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul. Aliran ini memberikan tempat yang penting
bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan
kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati
(nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
3.
Filsafat Islam, Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada
pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional
bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang
terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4. Filsafat Islam, Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi
Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim
Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang
dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga
aliran di atas.
Dalam
pandangan Filsafat Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa ada hubungan dan
kekuasaan ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari ciptaannya.
Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita
untuk mengenal ilahi dan semakin mempertebal keyakinan terhadapnya. Fenomena
alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT.
Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci
ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh sebab itu ilmu-ilmu agama dan umum
menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Dimensi-dimensi
dalam islam yaitu iman, islam,
ihsan, syariat, tariqat dan sufisme.
2.
iman
adalah meyakini dan mempercayai akan Allah beserta malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya,rasul-rasulNya, hari akhir, dan qadar yang serta qadar yan buruk
dari-Nya
3.
iman
itu bukan hanya dengan ucapan akan tetapi juga membenarkan dengan hati serta
melakukan dengan anggota
4.
islam
itu adalah mengerjakan rukun yang 5 yaitu bersyahadataini, mendirikan
salat,menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, serta melaksanakan haji
bagi yang berkuasa
5.
ihsan
itu adalah sesuatu perbuatan yang tujuannya hanya untuk memperoleh ridha Allah.
tingkatan ihsan ini tingkatan yang lebih tinggi dari ikhlas
6.
syariat
ini adalah hukum agama islam yang kita jalankan dalam kehidupan di dunia dengan
balasan di hari akhirat
7.
tariqat
ini merupakan jalan kita untuk lebih dekat dengan Allah atau jalan untuk
ta’abud kepada Allah
8.
sufisme
merupakan hasil dari syariat ( shalat, zakat, puasa, dll) dan tariqaht (zikir,
tafakkur, dll). sufisme ini juga merupakan tingkatan terakhir (makrifat dan
hakikat) yang di tempuh oleh seseorang dalam mencapai tingkat kesufian
9.
aliran-aliran
dalam pemikiran islam yaitu aliran kalam, aliran fikh, aliran tasawuf,
10. aliran kalam sama juga dengan ketauhidan, yaitu aliran yang sangat
penting dalam beragama
11. aliran fikh yaitu aliran yang membicarakan hukum-hukum dalam agama
12. aliran tasawuf ini menjadi aliran yang menjaga ketauhidan dan
kepahaman dalam beragama.
13. aliran-aliran dalam pemikiran islam ini sangat erat hubungannya dan
saling melengkapi antara satu dengan yang lain.
[1] Atang ABD.
Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, 2009) hal. 149-164.
[2] Syaikh
Muhammad Nawawi Banten, Manajemen Hidup dalam Islam, (Jakarta: Penerbit
Hikmah, 2004), hal. 14.
[3] Ibid., hal.
16,
[4]
Ibid., hal. 14
[5]
Syekh Muhammad Nawawi Banten, Manajemen Hidup dalam Islam,…, hal. 15
[6]
W.
Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,(Yogyakarta:
Penerbit Tiara Wacana, 1990). hal. 196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar