HADIST SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Di
S
U
S
U
N
Oleh
NAJAMUDDIN
RACHMAT SATRIA
RAHMALIA
SAFIA RAUZANA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits Nabi
telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat
diragukan lagi. Hadist sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah
Al-quran, keberadaan hadist sebagai sumber ajaran Islam telah mewarnai
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya. Penelitian terhadap hadist baik
dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalam
nya, macam-macam tingkatannya maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan
Al-quran dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli bidangnya.
Walaupun
Alquran dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun
ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula
dipahami dengan baik, apabila tidak adanya ijtihad para pakar di bidang ini
untuk mengemukakan maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran dan
Hadis. Hal ini dipandang penting agar para pelajar dan masyarakat muslim tidak salah memahami Al-quran dan
hadis. Oleh karena kita pun harus
mengetahui dan mengenal sumber hukum Islam ini.
B.
Tujuan Pembahasan
Seluruh umat
Islam telah faham dan mengerti bahwa hadits Rasulullah saw. merupakan pedoman hidup yang utama setelah al-Quran sebagai penjelasan terhadap kandungan ayat-ayat dan makna-makna di
dalam Al-qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan
ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan
menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan dalam menurut petunjuk ayat
yang masih muthlak dalam al-Quran, maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya
dalam hadits yang dapat di lihat
dari berbagai tinjauan dan penelitian-penilitain yang akurat sehingga bisa
menjadi suatu patokan di dalam kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadist
Al-Qur’an
dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara
satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.[1] Pada
garis besarnya pengertian hadist dapat dilihat melalui dua pendekatan, yaitu
pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologi).
Hadist
dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadis berasal dari bahasa arab, yaitu dari
kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang
maca-macam. Kata alhadist kemudian dapat pula brarti al-khabar yang berarti mayutahaddast
bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, atau
diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.[2]
Hadist
dilihat dari segi pengertian istilah
dijumpai pendekatan yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan
karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat
suatu masalah.
Seperti
halnya menurut pandangan para ulama ahli hadist, ulama ushul fiqh dan
ulama ahli fiqh, yaitu:
1.
Para
ulama ahli hadist misalnya berpendapat bahwa hadis adalah ucapan, perbuatan dan
keadaan Nabi Muhammad saw.
2.
Para
ulama ushul fiqh berpendapat
bahwa hadist adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw yang
berkaitan dengan hukum.
3.
Para ulama ahli fiqh berpendapat hadsit sebagai
sunah, yaitu sebagai salah satu dari hukum taklifi, suatu perbuatan apabila
apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak akan
disiksa. Dalam kaitan ini ulama ahli fiqh berpendapat bahwa hadist adalah sifat
syar’iyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya, akan tetapi
tuntutan melaksanakanya tidak secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang
mengerjakan dan tidak di siksa orang yang tidak mengerjakannya.
Di
antara pemikiran yang mendasari terjadinya perbedaan dalam mendefinisikan hadist yaitu antara
lain, karena perbedaan mereka dalam memandang pribadi Rasulullah saw.
Jika
ulama ahli hadis memandang Rasulullah saw
sebagai yang patut diteladani dan dijadikan contoh yang baik, apa
saja yang berasal dari Nabi dapat diterima sebagai hadis.
Sedangkan
ulama ahli ushul memandang pribadi Rasulullah saw sebagai pengatur
undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang undang-undang kehidupan
(dustur al-hayat) dan menciptakan dasar-dasar bagi para mujtahid yang akan
hidup sesudahnya. Dengan demikian, mereka memandang perkataan-perkataan,
perbuatan dan ketetapannya sebagai hadist dengan syarat hadist tersebut
berkaitan dengan hukum.
Lain
halnya para ulama fiqh memandang pribadi Rasulullah saw itu, baik
perkataan, perbuatan maupun ketetapannya menunjukkan hukum syara’. Oleh karena
itu, mereka menempatkan hadist sebagai salah satu hukum taklifi yang lima,
yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Adapun
yang bisa digunakan sebagai sandaran hukum dari Nabi Muhammad saw adalah
segala sesuatu yang keluar dari beliau ketika sesudah Nabi menjadi Rasul.
Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa khabar-khabar yang mengenai Nabi
terdapat dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab sirah, kitab-kitab maghazi dan
kitab-kitab hadis. Namun demikian dikatakan kitab hadis, ialah kitab-kitab yang
menyebutkan apa yang Nabi kerjakan sesudah menerima Risalah. Hal-hal yang
terjadi sebelum Risalah bukanlah disebut untuk menjadi syariat. Yang menjadi
syariat hanyalah yang nabi kerjakan sesudah Risalah.[3]
B.
Posisi Hadist
Umat islam sepakat dan setuju bahwa hadist adalah sumber ajaran
Islam kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan mereka berdasarkan pada nash, baik
yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadist.
Telah disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan hadist
adalah sumber hukum atau pedoman ke dua setelah Al-Qur’an, seperti dalam surat
An-isa’ ayat 59, Al-maidah ayat 92, dan surat An-nur ayat 54.[4]
Adapun dari dalil hadist adalah dikutip dan dilihat dari hadist
Nabi Muhammad saw ketika beliau hendak mengutus Mu’az bin Jabal ke kota
Yaman.
Inti hadist tersebut adalah: ketika nabi bertanya kepada Mu’az bin
Jabal mengenai hal sandaran penetapan hukum, saat itu Mu’az menjawab bahwa ia
akan menetapkan hukum berdasarkan yang telah di sebutkan di dalam Al-Qur’an,
setelah itu kepada hadist, kemudian baru kepada ijtihadnya sendiri.
Hadist akan digunakan setelah tidak ditemukan ketetapan hukum dalam
Al-Qur’an, sedangkan ijtihad akan diigunakan jika tidak ditemukan ketetapan
hukum baik di dalam Al-qur’an maupun hadist. Setelah mendengar jawaban dari
Mu’az, nabi menepuk-nepuk bahunya yang pertanda Nabi Muhammad saw setuju
dengan pernyataan Mu’az bin Jabal tersebut.
Dalam hadist lain Rasulullah saw juga bersabda (lihat Jalal
al-din abd al-rahman Abi Bakr al-uyuti, t.th: 505):
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan sesat
selamanya apabila berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah
(Al-qur’an) dan sunnah rasul.” (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah)
Hadist tersebut
menunjukan bahwa nabi SAW diberi al-quran dan sunnah, dan mewajibkan kita
berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil yang ada pada sunnah seperti
mengambil pada al-quran. Masih banyak hadits yangmenegaskan tentang kewajiban
mengikuti perintah dan tuntutan Nabi saw.
Keberadaan hadist sebagai sumber hukum ke dua setelah Al-qur’an,
selain ketetapan Allah yang dipahami dari ayat-ayatnya secara tersirat juga
merupakan ijma’ (konsensus) seperti
terlihat dalam perilaku para sahabat.
Misalnya:
1.
Penjelasan
Utsman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam shalat, seperti yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.
2.
Umar
bin Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak Rasul Ketika berhadapan
dengan Hajar Aswad, ia berkata, “Saya
tahu engkau adalah batu. Jika tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan
mencium mu.”
3.
Janji
Abu Bakar ketika dibaiiat menjadi khalifah, ia
berkata “ Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan
oleh Rasulallah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
Kehujjahan
sunnah berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw,
diantaranya:
1.
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah.” (QS. Al-hasyr: 7)
2.
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya).” (QS. An-nisa: 59).
3.
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. An-nisa: 80).
Ayat-ayat di atas dapat ditarik gambaran bahwa
setiap ada perintah taat kepada Allah harus diiringi taat kepada rasul-Nya.
Dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada rasul
dan larangan mendurhakainya.
C.
Fungsi Hadist
Di
dalam al-Quran, ada beberapa kandungannya yang bersifatijmaly (global)
dan umum, namun adapula kandungan al-Quran yang bersifat tafshily (terperinci).
Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan
penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman
hidup manusia. Nabi Muhammad SAWsebagai Rasulullah telah
diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan isikandungan al-Quran itu.
Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis ritu, penjelasan itu bukan hanya
bersifat lisan, tetapi juga langsung amalan praktis.
Hadist berfungsi menetapkan aturan
atau hukum yang tidak didapat dalam
Al-Qur’an. Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah), ulamak
tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an dalam
menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu. kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi
umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama
hadits itu sah dari Rasulullah SAW.[5]
Menurut T.M
Hasybi al-Shiddiqi, sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad (1994: 111- 128)
dan Mundzir Suparta (1996: 49-56), dan fathurrahman (1974:65), fungsi hadist
terhadap Al-Qur’an itu sebagai penjelas (Al-bayan).
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Al-quran ditinjau dari segi
penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu
sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dari Al-quran.[6]
Fungsi atau peranan hadis (sunah) di samping
al-qur’anul karim adalah:
1.
Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang
telah disebutkan dalam Al-qur’an (bayan at-taqriri atau at-ta’kid).
2.
Menjelaskan,menafsirkan,dan merinci ayat-ayat Al-qur’an
yang masih umum dan samar (bayan at-tafsir).
3.
Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak
tercantum dalam Al-qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak
bertentangan dengan Al-qur’an).
Dari segi dilalah
al-Ahkam, ada 4 fungsi Hadits terhadap al-Quran:
1.
Hadits (sunnah) sebagai penjelas
apa-apa yang dimaksudkan Al-quran, adapun penjelasan itu ada 4 macam, yaitu:
a.
Penjelasan terhadap hal yang global, seperti
diperintahkannya shalat dalam Al-qur’an tidak diiringi penjelasan mengenai
rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh
Hadits yang berbunyi:
صلّوا كما
رأيتمونى أصلّى
Artinya: “Shalatlah kamu semua, sebagaimana
kamu telah melihat aku shalat.”
b.
Mentaqyid yang mutlaq,
contohnya adalah hadist-hadist yang menjelaskan pengertian dari kata اليد dalam
firman Allah surat Al-maidah: 38 yaitu:
والسارق
والسارقة فا قطعوا أيديهما
Ayat
tersebut menjelaskan maksud dari kata al yad adalah
tangan kanan, dan pemotongannya dari pergelangan tangan bukan dari siku.
c.
Mengkhususkan (mentakhsis) yang
umum, contohnya seperti Hadits yang menerangkan maksud dari kata الظلم dalam surat Al-an’am: 82 yaitu:
الذين امنوا ولم
يلبسوا إيمانهم بظلم
Yang dimaksud
dari kata Al-Dzulmu adalah syirik, karena sebagian Sahabat
memahami secara umumnya sehingga mereka berkata “siapa dari kita yang tidak
dzolim”, kemudian Nabi Muhammad saw bersabda:
ليس ذلك إنما هو
الشرك (رواه أحمد والبخارى)
d.
Penjelas yang samar, contohnya adalah hadits
yang menjelaskan maksud dari kata الخيطين dalam surat Al-baqarah: 187, yaitu:
وكلوا واشربوا
حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر
Sebagian
Sahabat memahami bahwa itu adalah tali yang putih dan hitam. Maka Nabi
bersabda:
هما بياض النهار
وسواد الليل
2.
Hadits (As-sunnah) sesuai
dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-qur’an, dalam hal ini
kedua-duanya menjadi sumber hukum dan berfungsi sebagai penguat (al-ta’kid).
Contoh hadits yang berbunyi;
إنّ الله يملي
للظالم فإذا أخذه لم يفلته (رواه الشيخان عن ابن موسى الاشعرى)
Menguatkan Ayat al-Quran yang
berbunyi;
وكذالك أخذ ربك
إذا أخذ القرى وهي ظالمة
Demikian juga
Hadits-Hadits yang menunjukkan akan kewajiban shalat, zakat, haji, berbuat
baik, ihsan, memaafkan dan lain-lain.
3.
Hadits (As-sunnah) sebagai
petunjuk atas suatu hukum yang tidak ada di dalam Al-qur’an. Misalnya hadits
yang melarang mempoligami antara seorang wanita dengan bibinya baik dari ibu
atau ayah.
4.
Hadits (As-sunnah) sebagai
penghapus (nasikh) hukum yang ditetapkan Al-qur’an, (Hal
ini menurut pendapat yang membolehkan penasakhan Al-qur’an
dengan hadist.
Contoh :
لاوصية لوارث
(رواه الترميذي)
Hadits di atas
menasikh hukum wasiat bagi orang tua, kerabat (ahli waris) yang ditetapkan oleh
Al-qur’an surat Al-baqarah: 180, yaitu:
كتب عليكم إذا
حضر أحدكم الموت ان ترك خيراً الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين
D.
Hikmah Hadist
Hikmah: Hadits Nabi dan Petuah Bijak
1.
Taubat
“Barang siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat,
niscaya Allah akan mengampuninya”
(HR. Muslim)
2. Keluar Untuk
Menuntut Ilmu
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya
Allah memudahkan baginya dengan (ilmu) itu jalan menuju surga” (HR. Muslim)
3. Senantiasa Mengingat Allah
“Inginkah kalian aku tunjukkan kepada amalan-amalan yang terbaik,
tersuci disisi Allah, tertinggi dalam tingkatan derajat, lebih utama daripada
mendermakan emas dan perak, dan lebih baik daripada menghadapi musuh lalu
kalian tebas batang lehernya, dan merekapun menebas batang leher kalian. Mereka
berkata: “Tentu”, lalu beliau bersabda: (Zikir kepada Allah Ta`ala)” (HR. At Turmidzi)
4. Berbuat yang Ma;ruf dan Menunujukkan jalan kebaikan
“Setiap yang ma`ruf adalah shadaqah, dan orang yang menunjukkan
jalan kepada kebaikan (akan mendapat pahala) seperti pelakunya”. (HR. Bukhari)
5. Berdakwah kepada Allah
“Barangsiapa yang mengajak (seseorang) kepada petunjuk (kebaikan),
maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
6. Mengajak yang Ma’ruf dan Mencegah Kemungkaran
“Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka
hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu
maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu (pula) maka dengan hatinya dan itu
adalah selemah-lemahnya iman”. (HR.
Muslim)
7. Membaca Al-qur’an
“Bacalah Al-qur`an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari
kiamat untuk memberikan syafa`at kepada pembacanya”. (HR. Muslim)
8. Mempelajari Al-qur’an dan Mengamalkannya
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-qur`an dan
mengajarkannya”. (HR. Bukhari)
9. Menyebarkan Salam
“Kalian tidak
akan masuk surga sehingga beriman, dan tidaklah kalian beriman (sempurna)
sehingga berkasih sayang. Maukah aku tunjukan suatu amalan yang jika kalian lakukan
akan menumbuhkan kasih sayang di antara kalian? (yaitu) sebarkanlah salam”. (HR. Muslim)
10. Mencintai Karena Allah
“Sesungguhnya Allah Ta`ala berfirman pada hari kiamat: ((Di manakah
orang-orang yang mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku akan menaunginya
dalam naungan-Ku, pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku))”. (HR. Muslim)
Tak seorang pun di antara ahli ilmu menentang bahwa mengamalkan apa
yang dibawa oleh sunnah juga berarti mengamalkan al-Qur’an. Karena,
al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Karena al-Qur’anlah
yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Juga karena al-Qur’an lebih umum
dan Hadis lebih khusus. Yang lebih umum dengan sifat menyeluruhnya haruslah
meliputi yang lebih khusus. Kesesuaian apa pun yang ada di antara al-Qur’an dan
Hadis pada pokok-pokonya tidaklah menghalangi sedikitpun kemandirian Hadis
menetapkan hukum-hukumnya atau penjelasannya, sampai pun dari pokok-pokok
tersebut. Sebab, Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai imam, sunnahnya sebagai
penuntun, dan petunjuk kenabiannya sebagai teladan yang baik bagi orang yang
mengharap pahala Allah dan keselamatan pada Hari Kemudian.
Sejak dulu para ulama sudah mengatakan, dan mereka benar bahwa:
“Al-Qur’an menyisipkan satu tempat bagi sunnah. Dan sebaliknya, sunnah juga
menyisihkan satu tempat buat al-Qur’an.” Hal ini tidaklah aneh setelah kita
menyimak firman Allah: Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah
mentaati Allah. (An-Nisa’:80).[7]
E.
Pembelaan Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam
Menurut Imam Hambali, barang siapa
menolak hadist maka ia itu telah berada diatas jurang kehancuran. Ia mengatakan
lagi bahwa:
1.
Rasulullah saw adalah penafsir Al-qur’an, tidak boleh
seorangpun menafsirkan Al-qur’an tanpa sunnah Rasulullah saw.
2.
Tafsir sahabat harus kita terima dalam menafsirkan Al-quran
apabila tidak menemukan dalam sunnah, karena sahabat lebih memahami sunnah Nabi
terutama tentang nuzulul Qur’an dan penjelasanya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-quran,
dimana kita diwajibkan mempercayai hadits sebagaimana kita mempercayai al-quran.
2.
Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai
bayan al-taqrir (penjelasan memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an; sebagai bayan al-Tafsir(menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang
terdapat dalam al-Qur’an); sebagaibayan al-tasyri’ (mewujudkan suatu hukum atau
ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya
(ashl) saja); sebagai bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti
ketentuan yang teradapat dalam Al-Qur’an).
3.
Dalam
hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarah dan
penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
4.
Hadist merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari al-Quran sebagai pegangan hidup setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan
yang sama dalam mengamalkan ajaran Islam. Tanpa hadis, ajaran al-Quran tidak
dapat dilaksanakan.
5.
Hadist sebagai pegangan dan pedoman hidup itu
adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, Jakarta:
Penerbit Raja Grafindo, 2011.
Atang Abdul
Hakim, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 2010.
M. Hasbi Ash
Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1987.
Muhammad
Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama,
2003.
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta:
Penerbit RajaGrafindo Persada, 2008.
Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Mizan Pustaka, 2002.
Bahrani,
dkk (Mahasiswa Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN
Palangka Raya), dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester ganjil tahun
2011 dan semester genap 2012.
[1]Quraisy Syihab,
Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta:
Penerbit Mizan Pustaka, 2002), hal. 192.
[2]Abuddin Nata, Metodelogi
Studi Islam, (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo, 2011), hal. 234.
[3]M.Hasbi Ash
Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1987), hal. 358.
[4]Atang Abdul
Hakim, Metodelogi Studi Islam, (Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya,
2010), hal. 85.
[5]Bahrani,
dkk (Mahasiswa Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN
Palangka Raya), dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester ganjil tahun
2011 dan semester genap 2012.
[6]Muhammad Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadis,
(Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2003), hal. 69.
[7]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada, 2008),
hal. 52-57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar