hadist sebagai sumber ajaran islam


HADIST SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Di
S
U
S
U
N
Oleh
  
NAJAMUDDIN
RACHMAT SATRIA
RAHMALIA
SAFIA RAUZANA




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadist sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah Al-quran, keberadaan hadist sebagai sumber ajaran Islam telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya. Penelitian terhadap hadist baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalam nya, macam-macam tingkatannya maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-quran dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli bidangnya.
Walaupun Alquran dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula dipahami dengan baik, apabila tidak adanya ijtihad para pakar di bidang ini untuk mengemukakan maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Hal ini dipandang penting agar para pelajar dan masyarakat muslim tidak salah memahami Al-quran dan hadis. Oleh karena kita pun harus mengetahui dan mengenal sumber hukum Islam ini. 
B.       Tujuan Pembahasan
Seluruh umat Islam telah faham dan mengerti bahwa hadits Rasulullah saw. merupakan pedoman hidup yang utama setelah al-Quran sebagai penjelasan terhadap kandungan ayat-ayat dan makna-makna di dalam Al-qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan dalam menurut petunjuk ayat yang masih muthlak dalam al-Quran, maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits yang dapat di lihat dari berbagai tinjauan dan penelitian-penilitain yang akurat sehingga bisa menjadi suatu patokan di dalam kehidupan manusia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hadist

Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.[1] Pada garis besarnya pengertian hadist dapat dilihat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologi).
Hadist dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadis berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang maca-macam. Kata alhadist kemudian dapat pula brarti al-khabar yang berarti mayutahaddast bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.[2]
Hadist dilihat dari segi pengertian istilah  dijumpai pendekatan yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah.
Seperti halnya menurut pandangan para ulama ahli hadist, ulama ushul fiqh dan ulama ahli fiqh, yaitu:
1.    Para ulama ahli hadist misalnya berpendapat bahwa hadis adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad saw.
2.    Para ulama  ushul fiqh berpendapat bahwa hadist adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw yang berkaitan dengan hukum.
3.    Para  ulama ahli fiqh berpendapat hadsit sebagai sunah, yaitu sebagai salah satu dari hukum taklifi, suatu perbuatan apabila apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak akan disiksa. Dalam kaitan ini ulama ahli fiqh berpendapat bahwa hadist adalah sifat syar’iyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya, akan tetapi tuntutan melaksanakanya tidak secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang mengerjakan dan tidak di siksa orang yang tidak mengerjakannya.

Di antara pemikiran yang mendasari terjadinya perbedaan  dalam mendefinisikan hadist yaitu antara lain, karena perbedaan mereka dalam memandang pribadi Rasulullah saw.
Jika ulama ahli hadis memandang Rasulullah saw  sebagai yang patut diteladani dan dijadikan contoh yang baik, apa saja yang berasal dari Nabi dapat diterima sebagai hadis.
Sedangkan ulama ahli ushul memandang pribadi Rasulullah saw sebagai pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang undang-undang kehidupan (dustur al-hayat) dan menciptakan dasar-dasar bagi para mujtahid yang akan hidup sesudahnya. Dengan demikian, mereka memandang perkataan-perkataan, perbuatan dan ketetapannya sebagai hadist dengan syarat hadist tersebut berkaitan dengan hukum.
Lain halnya para ulama fiqh memandang pribadi Rasulullah saw itu, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapannya menunjukkan hukum syara’. Oleh karena itu, mereka menempatkan hadist sebagai salah satu hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Adapun yang bisa digunakan sebagai sandaran hukum dari Nabi Muhammad saw adalah segala sesuatu yang keluar dari beliau ketika sesudah Nabi menjadi Rasul. Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa khabar-khabar yang mengenai Nabi terdapat dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab sirah, kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab hadis. Namun demikian dikatakan kitab hadis, ialah kitab-kitab yang menyebutkan apa yang Nabi kerjakan sesudah menerima Risalah. Hal-hal yang terjadi sebelum Risalah bukanlah disebut untuk menjadi syariat. Yang menjadi syariat hanyalah yang nabi kerjakan sesudah Risalah.[3]

B.     Posisi Hadist
Umat islam sepakat dan setuju bahwa hadist adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan mereka berdasarkan pada nash, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadist.  Telah disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan hadist adalah sumber hukum atau pedoman ke dua setelah Al-Qur’an, seperti dalam surat An-isa’ ayat 59, Al-maidah ayat 92, dan surat An-nur ayat 54.[4]
Adapun dari dalil hadist adalah dikutip dan dilihat dari hadist Nabi Muhammad saw ketika beliau hendak mengutus Mu’az bin Jabal ke kota Yaman.
Inti hadist tersebut adalah: ketika nabi bertanya kepada Mu’az bin Jabal mengenai hal sandaran penetapan hukum, saat itu Mu’az menjawab bahwa ia akan menetapkan hukum berdasarkan yang telah di sebutkan di dalam Al-Qur’an, setelah itu kepada hadist, kemudian baru kepada ijtihadnya sendiri.
Hadist akan digunakan setelah tidak ditemukan ketetapan hukum dalam Al-Qur’an, sedangkan ijtihad akan diigunakan jika tidak ditemukan ketetapan hukum baik di dalam Al-qur’an maupun hadist. Setelah mendengar jawaban dari Mu’az, nabi menepuk-nepuk bahunya yang pertanda Nabi Muhammad saw setuju dengan pernyataan Mu’az bin Jabal tersebut.
Dalam hadist lain Rasulullah saw juga bersabda (lihat Jalal al-din abd al-rahman Abi Bakr al-uyuti, t.th: 505):
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan sesat selamanya apabila berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-qur’an) dan sunnah rasul.” (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah)

Hadist tersebut menunjukan bahwa nabi SAW diberi al-quran dan sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil yang ada pada sunnah seperti mengambil pada al-quran. Masih banyak hadits yangmenegaskan tentang kewajiban mengikuti perintah dan tuntutan Nabi saw.

Keberadaan hadist sebagai sumber hukum ke dua setelah Al-qur’an, selain ketetapan Allah yang dipahami dari ayat-ayatnya secara tersirat juga merupakan ijma’ (konsensus) seperti terlihat dalam  perilaku para sahabat. Misalnya:
1.    Penjelasan Utsman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.
2.    Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak Rasul Ketika berhadapan dengan Hajar Aswad, ia  berkata, “Saya tahu engkau adalah batu. Jika tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan mencium mu.”
3.    Janji Abu Bakar ketika dibaiiat menjadi khalifah, ia berkata “ Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulallah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
Kehujjahan sunnah berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw, diantaranya:
1.    “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.” (QS. Al-hasyr: 7)
2.    “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya).” (QS. An-nisa: 59).
3.    “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-nisa: 80).
Ayat-ayat di atas dapat ditarik gambaran bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah harus diiringi taat kepada rasul-Nya. Dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada rasul dan larangan mendurhakainya.

C.    Fungsi Hadist

Di dalam al-Quran, ada beberapa kandungannya yang bersifatijmaly (global) dan umum, namun adapula kandungan al-Quran yang bersifat tafshily (terperinci). Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman hidup manusia. Nabi Muhammad SAWsebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan isikandungan al-Quran itu. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis ritu, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan, tetapi juga langsung amalan praktis.
Hadist berfungsi menetapkan aturan atau  hukum yang tidak didapat dalam Al-Qur’an. Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah), ulamak tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an dalam menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu.  kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah SAW.[5]
Menurut T.M Hasybi al-Shiddiqi, sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad (1994: 111- 128) dan Mundzir Suparta (1996: 49-56), dan fathurrahman (1974:65), fungsi hadist terhadap Al-Qur’an itu sebagai penjelas (Al-bayan).
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Al-quran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dari Al-quran.[6]


Fungsi atau peranan hadis (sunah) di samping al-qur’anul karim adalah:
1.    Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al-qur’an (bayan at-taqriri atau at-ta’kid).
2.    Menjelaskan,menafsirkan,dan merinci ayat-ayat Al-qur’an yang masih umum dan samar (bayan at-tafsir).
3.    Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-qur’an).

 Dari segi dilalah al-Ahkam, ada 4 fungsi Hadits terhadap al-Quran:

1.    Hadits (sunnah) sebagai penjelas apa-apa yang dimaksudkan Al-quran, adapun penjelasan itu ada 4 macam, yaitu:
a.    Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam Al-qur’an tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh Hadits yang berbunyi:
صلّوا كما رأيتمونى أصلّى
Artinya: “Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat aku shalat.”

b.    Mentaqyid yang mutlaq, contohnya adalah hadist-hadist yang menjelaskan pengertian dari kata اليد  dalam firman Allah surat Al-maidah: 38 yaitu:
والسارق والسارقة فا قطعوا أيديهما
Ayat tersebut menjelaskan maksud dari kata al yad adalah tangan kanan, dan pemotongannya dari pergelangan tangan bukan dari siku.

c.    Mengkhususkan (mentakhsis) yang umum, contohnya seperti Hadits yang menerangkan maksud dari kata الظلم dalam surat Al-an’am: 82 yaitu:
الذين امنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم
Yang dimaksud dari kata Al-Dzulmu adalah syirik, karena sebagian Sahabat memahami secara umumnya sehingga mereka berkata “siapa dari kita yang tidak dzolim”, kemudian Nabi Muhammad saw bersabda:
ليس ذلك إنما هو الشرك (رواه أحمد والبخارى)

d.   Penjelas yang samar, contohnya adalah hadits yang menjelaskan maksud dari kata الخيطين dalam surat Al-baqarah: 187, yaitu:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر
Sebagian Sahabat memahami bahwa itu adalah tali yang putih dan hitam. Maka Nabi bersabda:
هما بياض النهار وسواد الليل
2.    Hadits (As-sunnah) sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan  oleh Al-qur’an, dalam hal ini kedua-duanya menjadi sumber hukum dan berfungsi sebagai penguat (al-ta’kid).
Contoh hadits yang berbunyi;
إنّ الله يملي للظالم فإذا أخذه لم يفلته (رواه الشيخان عن ابن موسى الاشعرى)
Menguatkan Ayat al-Quran yang berbunyi;
وكذالك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة
Demikian juga Hadits-Hadits yang menunjukkan akan kewajiban shalat, zakat, haji, berbuat baik, ihsan, memaafkan dan lain-lain.

3.    Hadits (As-sunnah) sebagai petunjuk atas suatu hukum yang tidak ada di dalam Al-qur’an. Misalnya hadits yang melarang mempoligami antara seorang wanita dengan bibinya baik dari ibu atau ayah.

4.    Hadits (As-sunnah) sebagai penghapus (nasikh) hukum yang ditetapkan Al-qur’an, (Hal ini menurut pendapat yang membolehkan penasakhan Al-qur’an dengan hadist.
Contoh :
لاوصية لوارث (رواه الترميذي)
Hadits di atas menasikh hukum wasiat bagi orang tua, kerabat (ahli waris) yang ditetapkan oleh Al-qur’an surat Al-baqarah: 180, yaitu:
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت ان ترك خيراً الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين

D.    Hikmah Hadist
Hikmah: Hadits Nabi dan Petuah Bijak
1.    Taubat
“Barang siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah akan mengampuninya” (HR. Muslim)
2. Keluar Untuk Menuntut Ilmu
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya dengan (ilmu) itu jalan menuju surga” (HR. Muslim)
3. Senantiasa Mengingat Allah
“Inginkah kalian aku tunjukkan kepada amalan-amalan yang terbaik, tersuci disisi Allah, tertinggi dalam tingkatan derajat, lebih utama daripada mendermakan emas dan perak, dan lebih baik daripada menghadapi musuh lalu kalian tebas batang lehernya, dan merekapun menebas batang leher kalian. Mereka berkata: “Tentu”, lalu beliau bersabda: (Zikir kepada Allah Ta`ala)” (HR. At Turmidzi)
4. Berbuat yang Ma;ruf dan Menunujukkan jalan kebaikan
“Setiap yang ma`ruf adalah shadaqah, dan orang yang menunjukkan jalan kepada kebaikan (akan mendapat pahala) seperti pelakunya”. (HR. Bukhari)
5. Berdakwah kepada Allah
“Barangsiapa yang mengajak (seseorang) kepada petunjuk (kebaikan), maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
6. Mengajak yang Ma’ruf dan Mencegah Kemungkaran
“Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu (pula) maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
7. Membaca Al-qur’an
“Bacalah Al-qur`an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafa`at kepada pembacanya”. (HR. Muslim)
8. Mempelajari Al-qur’an dan Mengamalkannya
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-qur`an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhari)
9. Menyebarkan Salam
“Kalian tidak akan masuk surga sehingga beriman, dan tidaklah kalian beriman (sempurna) sehingga berkasih sayang. Maukah aku tunjukan suatu amalan yang jika kalian lakukan akan menumbuhkan kasih sayang di antara kalian? (yaitu) sebarkanlah salam”. (HR. Muslim)
10. Mencintai Karena Allah
“Sesungguhnya Allah Ta`ala berfirman pada hari kiamat: ((Di manakah orang-orang yang mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku akan menaunginya dalam naungan-Ku, pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku))”. (HR. Muslim)
Tak seorang pun di antara ahli ilmu menentang bahwa mengamalkan apa yang dibawa oleh sunnah juga berarti mengamalkan al-Qur’an. Karena, al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Karena al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Juga karena al-Qur’an lebih umum dan Hadis lebih khusus. Yang lebih umum dengan sifat menyeluruhnya haruslah meliputi yang lebih khusus. Kesesuaian apa pun yang ada di antara al-Qur’an dan Hadis pada pokok-pokonya tidaklah menghalangi sedikitpun kemandirian Hadis menetapkan hukum-hukumnya atau penjelasannya, sampai pun dari pokok-pokok tersebut. Sebab, Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai imam, sunnahnya sebagai penuntun, dan petunjuk kenabiannya sebagai teladan yang baik bagi orang yang mengharap pahala Allah dan keselamatan pada Hari Kemudian.
Sejak dulu para ulama sudah mengatakan, dan mereka benar bahwa: “Al-Qur’an menyisipkan satu tempat bagi sunnah. Dan sebaliknya, sunnah juga menyisihkan satu tempat buat al-Qur’an.” Hal ini tidaklah aneh setelah kita menyimak firman Allah: Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (An-Nisa’:80).[7]

E.     Pembelaan Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam


Menurut Imam Hambali, barang siapa menolak hadist maka ia itu telah berada diatas jurang kehancuran. Ia mengatakan lagi bahwa:
1.    Rasulullah saw adalah penafsir Al-qur’an, tidak boleh seorangpun menafsirkan Al-qur’an tanpa sunnah Rasulullah saw.
2.    Tafsir sahabat harus kita terima dalam menafsirkan Al-quran apabila tidak menemukan dalam sunnah, karena sahabat lebih memahami sunnah Nabi terutama tentang nuzulul Qur’an dan penjelasanya.


BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN

1.        Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-quran, dimana kita diwajibkan mempercayai hadits sebagaimana kita mempercayai al-quran.

2.        Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai bayan al-taqrir (penjelasan memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an; sebagai bayan al-Tafsir(menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an); sebagaibayan al-tasyri’ (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja); sebagai bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan,  dan mengganti  ketentuan yang teradapat dalam Al-Qur’an).

3.        Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarah dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.

4.        Hadist merupakan bagian yang tak terpisahkan dari al-Quran sebagai pegangan hidup setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan yang sama dalam mengamalkan ajaran Islam. Tanpa hadis, ajaran al-Quran tidak dapat dilaksanakan.

5.        Hadist sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin  Nata, Metodelogi Studi Islam, Jakarta: Penerbit Raja Grafindo, 2011.

Atang Abdul Hakim, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 2010.

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1987.

Muhammad Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2003.
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada, 2008.

Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta:  Penerbit Mizan Pustaka, 2002.

Bahrani, dkk (Mahasiswa Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya), dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester ganjil tahun 2011 dan semester genap 2012.





[1]Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta:  Penerbit Mizan Pustaka, 2002), hal. 192.
[2]Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo, 2011), hal. 234.
[3]M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1987), hal. 358.
[4]Atang Abdul Hakim, Metodelogi Studi Islam, (Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 85.
[5]Bahrani, dkk (Mahasiswa Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya), dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester ganjil tahun 2011 dan semester genap 2012.
[6]Muhammad Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2003), hal. 69.

[7]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 52-57.


Baca Juga Artiker Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DAFTAR ISI