BELAJAR
Di
s
u
s
u
n
Oleh:
Kelompok 4
AKBAR SAJIRI
HUSAINI
M. RIDWAN
MUZAKKIR
RACHMAT SATRIA
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI IAIN AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA
ACEH
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan oleh peserta didik
agar dapat merubah pola tingkah laku yang baru, sering kali didefinisikan
sebagai perubahan yang secara relatif berlansung lama pada masa berikutnya yang
diperoleh dari pengalaman-pengalaman. Sementara itu, menurut pendapat
tradisional belajar adalah suatu cara menambah dan mengumpulkan sejumlah ilmu
pengetahuan dalam mencapai tujuan pendidikan. Para ahli pendidikan modern juga
merumuskan bawa belajar itu sebagai suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan
dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam
cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.
B.
Tujuan Pembahasan
Seorang pendidik yang baik itu harus mengetahui betapa penting pendidikan bagi seorang peserta didik dalam
proses belajar mengajar yaitu dengan memberikan contoh-contoh yang teladan bagi
para peserta didik dan menggunakan strategi belajar yang tepat dan selaras
sesuai dengan kebutuhan siswa dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Definisi Belajar
Belajar
adalah key term, ‘istilah kunci’ yang paling vital dalam setiap usaha
pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan.
Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam
berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya kependidikan, misalnya
psikologi pendidikan dan psikologi belajar. Karena demikian pentingnya arti
belajar, maka bagian terbesar upaya riset dan eksperimen psikologi belajar pun
diarahkan pada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai
proses perubahan manusia itu.[1]
Perhatian
para ahli psikologi pendidikan mengenai belajar terutama berpusat pada kondisi
yang dapat memberi fasilitas-fasilitas belajar, sehingga proses belajar dapat
mudah dan lancar. Belajar adalah suatu aktivitas yang menuju ke arah tujuan
tertentu. Untuk mencapai tujuan itu perlu adanya faktor-faktor yang perlu
diperhatikan, misalnya saja faktor bimbingan.
Dari
definisi-definisi tersebut di atas, dapat dikemukakan adnya beberapa elemen-elemen
penting/asumsi dasar yang mencirikan pengertian tentang belajar, yaitu bahwa:
·
Belajar
merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku.
·
Belajar
merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman.
·
Untuk
dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap.
·
Tingkah
laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek
kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian,
penmecahan suatu masalah/berpikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan ataupun
sikap.
·
Belajar
adalah proses memperoleh pengetahuan.
·
Belajar
adalah suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil
latihan yang diperkuat.
·
Belajar
merupakan proses yang secara umum menetap, ada kemampuan bereaksi, adanya suatu
yang diperkuat dan dilakukan dalam bentuk praktik atau latihan.[2]
Sebenarnya kita melalui seluruh proses hidup ini dengan belajar.
Manusia dan juga seluruh makhluk hidup sudah dibekali instink unutk belajar.
Hanya saja, manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya di muka bumi ini, bisa
belajar lebih sistematis, lebih cepat dan lebih banyak.[3]
Jadi, belajar itu memang suatu kewajiban kita. Bagi mereka yang
beragama islam dengan jelas Nabi Muhammad mengatakan “Belajar itu wajib bagi
semua orang islam sejak mulai ia lahir sampai ia mati.
B.
Tujuan Belajar
Manusia dan makhluk hidup yang lain membutuhkan dunia untuk
mengembangkan dan melansungkan hidupnya. Ia selalu berusaha untuk menggunakan
dan mengubah dunia untuk kebutuhan dirinya. Ia selalu belajar, menyesuaikan
diri dengan dunia luar. Dengan kegiatan belajar/menyesuaikan diri itu berbagai
macam cara mereka pergunakan. Adapun tujuan belajar ada tiga macam, yaitu:[4]
1.
Untuk Mendapatkan Pengetahuan
Hal
ini ditandai dengan kemampuan berfikir. Pemilikan pengetahuan dan kemampuan
berfikir sebagai yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, tidak dapat
mengembangkan kemampuan berfikir tanpa bahan pengetahuan, sebaliknya kemampuan
berfikir akan memperkayakan pengetahuan. Tujuan inilah yang memiliki
kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. Dalam hal
ini perananan guru sebagai pengajar lebih menonjol.
Adapun
jenis interaksi atau cara yang digunakan untuk kepentingan pada umumnya dengan
modal kuliah (presentasi), pemberian tugas-tugas bacaan. Dengan cara demikian,
anak didik atau siswa akan diberikan pengetahuan sehingga menambah
pengetahuannya dan sekaligus akan mencarinya sendiri untuk mengembangkan cara
berfikir dalam rangka memperkaya pengetahuannya.
2.
Penanaman Konsep dan Keterampilan
Penanaman
konsep atau merumuskan konsep, juga memerlukan suatu keterampilan. Jadi soal
keterampilan yang bersifat jasmani maupun rohani. Keterampilan jasmani adalah
keterampilan-keterampilan yang dapat dilihat, diamati, sehingga akan menitik
beratkan pada keterampilan gerak atua penampilan dari anggota tubuh seseorang
yang sedang belajar, termasuk dalam hal ini masalah-masalah “teknik“ dan
“pengulangan”. Sedangkan keterampilan rohani lebih rumit, karena tidak selalu
berurusan dengan masalah-masalah keterampilan yang dapat dilihat bagaimana
ujung pangkalnya, tetapi lebih abstrak, menyangkut persoalan-persoalan
penghayatan, dan keterampilan berfikir serta kreativitas untuk menyelesaikan
dan merumuskan suatu masalah atau konsep. Jadi semata-mata bukan soal “pengulangan”,
tetapi mencari jawaban yang cepat dan tepat.
Keterampilan
memang dapat dididik, yaitu dengan banyak melatih kemampuan. Demikian juga
mengungkapkan perasaan melalui bahasa tulis atau lisan, bukan soal kosa kata
atau tata bahasa, semua memerlukan banyak latihan. Interaksi yang megarah pada
pencapaian keterampilan itu akan menuruti kaidah-kaidah tertentu dan bukan
semata-mata hanya menghafal atau meniru. Cara berinteraksinya, misalnya dengan
metode role playing.
3.
Pembentukan Sikap
Dalam
menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus lebih
bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk itu dibutuhkan kecakapan dalam mengarahkan motivasi dan berfikir
dengan tidak lupa menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau
model.
Dalam
intraksi belajar mengajar guru akan senantiasa diobservasi, dilihat, didengar,
ditiru semua perilakunya oleh para siswanya. Dari proses observasi siswa
mungkin juga menirukan perilaku gurunya, sehingga diharapkan terjadi proses internalisasi
yang dapat menumbuhkan proses penghayatan pada setiap diri siswa untuk kemudian
diamalkan.
Pembentukan
sikap mental dan perilaku anak didik, tidak akan terlepas dari soal penanaman
nilai-nilai. Oleh karena itu, guru tidak sekedar “pengajar”, tetapi betul-betul
sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya.
Dengan dilandasi nilai-nilai itu, anak didik atau siswa akan tumbuh kesadaran
dan kemauannya, untuk mempraktikkan segala sesuatu yang sudah dipelajarinya.
Cara berintraksi atau metode-metode yang dapat digunakan misalnya dengan
menggunakan metode diskusi, demonstrasi, sosiodrama dan role playing.
Jadi
pada intinya, tujuan belajar itu adalah ingin mendapatkan pengetahuan,
keterampilan dan penanaman sikap mental atau nilai-nilai. Pencapaian tujuan
belajar berarti akan menghasilkan, hasil belajar. Relevan dengan uraian
mengenai tujuan belajar tersebut, hasil belajar itu meliputi:
1.
Hal
Ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif).
2.
Hal
Ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif).
3.
Hal
Ihwal kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotorik).
Ketiga
hasil belajar di atas dalam pengajaran merupakan tiga hal yang secara
perencanaan dan programatik terpisah, namun dalam kenyataannya pada diri siswa
akan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. Ketiganya itu dalam kegiatan
belajar mengajar, masing-masing direncanakan sesuai dengan butir-butir bahan
pelajaran (content). Karena semua itu bermuara kepada anak didik, maka
setelah terjadi proses internalisasi, terbentuklah suatu kepribadian yang utuh.
Seperti telah dikemukakan, bahwa dalam pendidikan orang perlu
belajar bukan hanya untuk memperoleh informasi dan pengetahuan, tapi juga untuk
dapat memakainya dalam membuat keputusan, pertimbangan dan lain-lain. Karena
itu kepada siswa perlu diberikan pengalaman yang berguna dalam pengambilan
keputusan secara aktual dan untuk mencapai kemampuan mengawasi dan mennentukan
pelajaran mereka sendiri. Kita sudah mengetahui bahwa manusia belajar itu
tergantung kepada siswa sebagai individu di mana kegiatan yang konstruktiflah
yang menentukan hasil belajar itu.[5]
C.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Belajar
Secara global faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat
kita bedakan menjadi tiga macam yaitu:
1.
Faktor internal
(faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa.
2.
Faktor eksternal
(faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan siswa.
3.
Faktor pendekatan belajar (approachto learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi
strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan memepelajari materi-materi
pelajaran.[6]
Selain itu juga masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi
belajar, antara lain:
1.
Kemampuan
Pembawaan.
Kita
ketahui bahwa tidak ada dua orang yang berpembawaan sama. Juga dalam kemampuan
tiap orang mempunyai potensi kemampuan sendiri-sendiri. Kemampuan pembawaan ini
akan mempengaruhi belajarnya anak. Anak yang mempunyai kemampuan pembawaan yang
lebih akan lebih mudah dan lebih cepat belajar dari pada anak yang mempunyai
kemampuan yang kurang. Tetapi dalam hal ini kit tidak mengatakan bahwa
kemampuan pembawaan ini adalh factor yang paling penting atau paktor yang
paling dominan dalam belajar. Kekurangan di dalam kemempuan pembawaan ini masih
dapat diatasi dengan banyak cara, misalnya dengan membuat latihan-latihan yang banyak. Jadi factor pembawaan ini hanyalah salah satu
factor dari belajar.
2.
Kondisi
Fisik Orang yang Belajar.
Orang
yang belajar tidak terlepas dari kondisi pisiknya. Menurut penyelidikan yang
telah dilakukan oleh salah seorang mahasiswa FIP UGM Yogyakarta ternyata bahwa
kondisi pisik mempengaruhi prestsi belajar anak.
Maka
adanya anak yang sering sakit prestasinya menurun. Anak yang cacat misalnya
kurang pendengaran, kurang penglihatan prestsinya juga kurang apabila
dibandingkan dengan anak yang normal. Maka perlulah diperhatikan kondisi pisik
anak yang belajar.
3.
Kondisi
Psikis Anak.
Selain
kondisi pisik kondisi psikis juga harus diperhatikan. Keadaan psikis yang
kurang baik banyak sebabnya, mungkin ditimbulkan oleh keadaan pisik yang tidak
baik, sakit, cacat, mungkin disebabkan oleh gangguan atau keadaan lingkungan,
situasi rumah, keadaan keluarga, ekonomi dan lain-lain atau pemusatan rumah
terhadap soal-soal yang lain. Ini semua menjadi gangguan belajar. Maka perlu
dijaga supaya kondisi psikis orang belajar dipersiapkkan sebaik-baiknya supaya
dapat membantu dalam belajar.
4.
Kemauan
Belajar.
Kemauan
ini memegang peeranan yang penting di dalam belajar, adanya kemauan dapat
mendorong belajar dan sebaliknya tidak adanya kemauan dapat memperlemah
belajar.
Di
dalam individu yang belajar harus ada dorongan dalam dirinya yang dapat
mendorongnya kesuatu tujuan yang berarti kemauan belajar ini sangat erat
hubungannya dengan keinginan dan tujuan individu. Ini berbeda-beda dalam
masing-masing individu, maka untuk memberi dorongan pada masing-masing orang
berbeda-beda pula caranya. Untuk dapat memberi dorongan seseorang harus
ditemukan: perhatiannya, latar belakangnya, kemampuannya dengan cara membuat
hubungan pribadi. Apabila pendidikan sudah mendapatkan itu semua maka dapatlah
ia membuat pelajaran yang diberikan itu sedemikian rupa sehingga orang yang
belajar merasa bahwa pelajaran itu sangat berarti baginya dan ia merasa bahwa
ia dapat mencapainya, maka terbentuklah keinginan belajar.
5.
Sikap
Terhadap Guru, Mata Pelajaran dan Pengertian Mereka Mengenai Kemajuan Mereka Sendiri.
Bagaimana sikap murid terhadap guru ini juga mempengaruhi
belajarnya. Murid yang benci terhadap gurunya tidak akan lancar belajarnya.
Sebaliknya apabila murid suka pada gurunya tentu akan membantu belajarnya,
disini perlu diperhatiakn siakp guru terhadap murid, sikap yang baik, ramah
mengenal murid, ini akan menjadi dorongan bagi murid untuk menyukai gurunya.
Pula tidak terlepas dari penampilan guru, guru yang selalu muram yang tak baik,
cara berpakaian akan mempengaruhi murid.
Sikap murid terhadap mata pelajaran ini pun faktor yang paling
penting dalam belajar, mata pelajaran yang disukai akan lebih lancar dipelajari
daripada pelajaran yang kurang disenangi. Maka pelajaran dapat disenangi atau
dibenci tergantung dari banyak faktor, mungkin guru yang menyajikan pertama
kali kurang baik, mungkin disebabkan kegagalan-kegagalan yang di hadapi murid
dalam menghadapi pelajaran itu dan lain-lain.
Adanya pengertian tentang krmajuan mereka sendiri. Adanya
pengertian, adanya kemajuan atau kemunduran dapat mendorong orang yang belajar
untuk lebih giat belajar.
Maka perlulah adanya apa yang disebut kurva belajar. Kurva belajar
ini adalah sebuah grapik yang dapat menggambarkan kemajuan belajar anak.
Sebaiknya pada masing-masing anak mempunyai kurva belajar sendiri-sendiri untuk
tiap tahun pelajaran. Meskipun kurva ini tidak menunjukkan proses belajar
seluruhnya, tapi ini dapat menunjukkan pengaruh dari latihan, kenaikan dan
kemunduran belajar dan juga waktunya.
6.
Bimbingan.
Di
dalam belajar anak membutuhkan bimbingan. Bimbingan ini perlu diberikan untuk
mencegah usaha-usaha yang membuta, hingga anak tidak mengalami kegagalan,
melainkan dapat membawa kesuksesan, bimbingan dapat menghindarkan kesalahan dan
memperbaikinya.
Bimbinggan
dapat diberikan sebelum ada usaha-usaha belajar, atau sewaktu-waktu setelah ada
usaha-usaha yang tidak terpimpin. Keefektifan bimbingan ini tergantung dari
macam-macam tugas dan kebutuhan dari orang yang belajar. Karena ini dapat
mencegah yang bisa timbul dan mengakibatkan adanya putus asa, karna apabila
permulaannya sudah mengalami kegagalan ini akan berakibat bermacam-macam antara
lain kebencian terhadap guru yang memberikan mata pelajaran, hingga dapat
menghambat keefektifan belajar.
Tetapi
harus diingat bahwa bimbingan jangan diberikan secara berlebihan, karena hal
ini akan merusak tujuan. Apabila orang yang belajar telah menguasai inti
tugasnya, bimbingan harus dihilangkan. Karena kalau diberikan terlalu banyak
bimbingan ini akan mengakibatkan terhambatnya inisiatif, hingga tidak ada
kemauan lagi untuk berusaha, dan sebaliknya apabila bimbingan diberikan terlalu
sedikit maka perhatian akan hilang dan kepercayaan terhadap diri sendiri akan
menjadi lemah.
Contoh
terlalu banyak bimbingan misalnya di dalam memecahkan persoalan selalu di
bimbingan, maka kakin lama makin tidak ada usaha untuk berusaha sendiri dalam
menghadapi persoalan, ia akan selalu menanti pertolongan didalam segala hal.
Motif ini sama saja dengan apa yang sering disebut dalam bahasa inggris “Drive”
atau “Need” yaitu sesuatu dalam diri
manusia yang mendorong manusia untuk berbuat menuju kesuatu tujuan.
Rangsangan
luar yang memberi dorongan pada suatu motive, drive, atau need untuk
mencapai tujuan dan mencari tujuan disebut intensif. Sedangkan motivasi adalah
pemberian dorongan pada motive entah dari dalam atau luar untuk mencapai
tujuan. Jadi segala perbuatan yng menuju kesuatu tujuan adalah bermotif.
Motivasi ada dua macam yaitu motivasi asli dan motivasi yang didapat. Di dalam
pendidikan motivasi adalah seni yang merangsang perhatian, atau yang belum
dirasakan murid atau menyempurnakan perhatian yang sudah ada supaya menjadi
perbuatan yang dikehendaki masyarakat. Motivasi dalam belajar mengandung:
membangkitkan, memberi kekuatan dan memberi arah pada tingkah laku yang
diinginkan.
Faktor-faktor
dasar yang termasuk dalam motivasi
Motivasi adalah sangat penting
dalam belajar, untuk dapat memberi motivasi pada orang yang belajar,
kita harus mengetahui dasar psikis dari orang yang belajar.
Pada manusia apa yang disebut dinamika anak dan dinamika manusia. Dinamika anak: orang yang belajar adalah orang yang hidup yang
telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan kesenangan dan ketidaksenangan, emosi, dan
sikap kecemasan serta ketakutan, ini semua diksebut dinamika anak. Untuk dapat
memberikan motivasi pada anak harus memperhatikan hal-hal tersebut. Dinamika pada manusia: manusia datang
kedunia telah mempunyai keinginan dan kebutuhan. Keinginan dan kebutuhan ini
makin lama makin berlipat ganda dan makin komplek, manusia dapat mengetahuai
dan kebutuhannya hanyalah dapat di penuhi dalam batas-batas tertentu.
Maksudnya tidak semua keinginan dan kebutuhan dapat dipenuhi. Karena
itu orang selalu mengubah motivasinya supaya dapat diterima. Jadi orang harus
selalu menyesuaikan dirinnya.
Apabila bimbingan telalu
sedikit: apabila anak dalam usaha belajarnya gagal, dan tidak ada orang yang
membantunnya atau membimbingnya, ini akan berakibat makin kurangnya perhatian
terhadap apa yang di pelajari. Kalau menghadapi masalah yang semacam akan
timbul dalam dirinya perasaan “ toh tidak dapat”. Dan ini tidak akan terhenti
pada satu hal saja tapi akan meluas pada ha-hal yang lain. Tujuan yang
prinsifil dari bimbingan adalah untuk mengembangkan inisiatif pada anak.
7.
Ulangan.
Di dalam belajar perlu adanya ulangan-ulangan hal ini adalah elemen
yang vital dalam belajar. Dengan adanya ulangan-ulangan ini dapat menunjukkan
pada orang yang belajar kemajuan dan kelemahannya dengan demikian orang yang
belajar akan menambah usaha untuk belajar. Perlu diperhatikan tentang menambah
untuk belajar. Perlu diperhatikan
tentang memberitahukan hasil ulangan supaya anak tahu hasilnya. Dan perlu juga
memperbincangkan kesalahan yang diperbuat supaya kesalahan baru tidak diperbuat
lagi.
Dalil-dalil dalam ilmu tata bahasa akan lebih mudah di pelajari
apabila dipergunakan dalam hubungannya dengan pemakaian praktis dalam bahasa tulis maupun lisan, dalil-dalil dalam
ilmu pasti akan dapat lebih dimengerti dalam masalah yang konkrit, teori dan
hipotesis, dalam ilmu sosial lebih dimengerti apabila dipergunakan dalam
masalah sosial pada waktu itu.
Apabila suatu dalil telah di pelajari, harus diberikkan contoh pemakaiannya,
diberikan problem-problem atau latihan yang baru untuk mengetahui kecakapan
pemakaiannya.[7]
D.
Teori-Teori Pokok Belajar
Untuk
lebih memperjelas pengertian pentingnya belajar, prinsip-prinsip belajar dan
bagaimana proses belajar itu terjadi. Di antara sekian banyak teori yang
berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yaitu:
Connectionism, Classical Conditioning, dan Operant Conditioning.[8]
1.
Koneksionisme
Teori
koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874/1949) berdasarkan eksperimen yang
ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan
terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar di tempatkan dalam
sangkar yang berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan,
seperti pengungkit, gerendal pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit
dengan gerendal tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga
memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan bagian
dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan
situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan
memperoleh makanan yang ada didepan pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong,
mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka untuk memperoleh
makanan yang ada di depannya. Akhinya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing
itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut.
Ekperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrument
conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong)
untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan eksperimen
di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus
dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut ‘‘S-R Bond
Theory’’ dan “S-R Psychology of
Learning”. Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “ Trial
and Error Learding”. Istilah ini menunjuk
pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai
suatu tujuan.
Apabila kita
perhatikan dengen seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua
hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang,
sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja puzzle box yang
mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu akan menampakkan gejala belajar
untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa
motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini
merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian
menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect.
Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara
stimulus dan repons akan semakin kuat. Sebaliknya semakin tidak memuaskan
(mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus
dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang menghasilkan munculnya konsep Rienforcer dalam
teori Operant Conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.
Di samping law of effect, Thorndike
juga mengemukakan dua macam hukum lainnya yang masing-masing disebut law of
readiness dan law of exercise. Sekarang, kedua hukum ini sesungguhnya tidak
terlalu popular, namun cukup berguna sebagai tambahan kajian dan perbandingan.
Law of
readiness (hukum
kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme
itu berasal dari pendayagunaan conduction units (satuan perantaraan).
Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat spekulatif,
menurut Reber (1988), hanya bersifat historis.
Law
of exercise (hukum latihan)
ialah generalisasi atas law of use dan law of disuse Menurut Hilgard dan
Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau
digunakan maka eksistensi perilaku
tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika pelaku tadi
tidak sering dilatih atau tidak digunakan maka akan terlupakan atau
sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).
2.
Pembiasaan
Klasik
Teori
pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan
hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuan
besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical
conditioning adalah sebuah prosedur
penciptaan refleks baru dengen cara
mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.
Kata classical
yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov
yang dianggap paling dahulu dibidang conditioning (upaya pembiasaan) dan
untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya. Selanjutnya,
mungkin kerena fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat disebut respondent
conditioning (pembiasaan yang dituntut).
Dalam
eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan
antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned
response (CR), dan unconditioned response (UCR). CS adalah
rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons
yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang
menimbulkan respons yang tidak dipelajaridan respons yang tidak dipelajaritu
disebut UCR.
Anjing
percobaan itu mula-mula diikat
sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung
cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa
sebelum dilatih (dikenai eksperimen), secara alami anjing itu selalu
mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel
dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relavan,
yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian,
dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengar bel (CS) bersama-sama
dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang
berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) didengarkan lagi tanpa disertai
makanan (UCS). Apakah yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan
air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, (CS) akan
menghasilkan (CR) apabila (CS) dan (UCS) telah berkali-kali dihadirkan
bersama-sama.
Dari hasil
percobaan itu, Pavlov mendapat kesimpulan bahwa gerakan-gerakan refleks itu
dapat dipelajari, dapat berubah karena latihan. Sehingga dengan demikian dapat
dibedakan menjadi dua macam refleks, yaitu refleks wajar (keluar air liur
ketika makan) dan refleks bersyarat/refleks yang dipelajari (keluar air liur
ketika mendengar bunyi bel).[9]
3.
Pembiasaan
Perilaku Respons
Teori
pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori
belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh dikalangan para
ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner
(lahir tahun 1904).
“Operant”
adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan yang dekat. Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh
stimulus tertentu), respons operant conditioning terjadi tanpa didahului
oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer
itu sendiri adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah
respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.
Dalam salah
satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam
sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti
sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni: manipulandum
dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum
adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement.
Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Dalam
eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara
lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding
dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut ”emitted behavior”
(tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme
tanpa memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya, secara
kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki
depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini
mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.
Butir-butir
makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit.
Penekanan pengungkit ini disebut tingkah laku operant yang akan terus
meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa
butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas sekali
bahwa eksperimen Skinner di atas mirip sekali dengan trial and error
learning yang ditemukan oleh Throndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah
laku belajar menurut Throndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan,
sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan.
Dengan demikian, baik belajar dalam
teori S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung
atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of efect.
Selanjutnya,
proses belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk kepada dua
hukum operant yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan
law of operant extinction. Menurut law of operant conditioning, jika
timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka
kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of
operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah
diperbuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah.
Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam
proses belajar menurut teori pembiasan yang klasikal.
Teori-teori
belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov di atas secara
principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya
perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat
diukur. Teori-teori itu juga bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respons sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika
kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologi
kognitif, karakteristik belajar yang terdapat dalam teori-teori behavioristik
yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita itu, sesungguhnya
mengandung banyak kelemahan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Belajar
ialah suatu proses usaha yang dilakukan oleh peserta didik agar dapat merubah
pola tingkah laku yang baru, sering kali didefinisikan sebagai perubahan yang
secara relatif berlansung lama pada masa berikutnya yang diperoleh dari
pengalaman-pengalaman.
2.
Manusia
sebagai makhluk tertinggi derajatnya di muka bumi ini, bisa belajar lebih
sistematis, lebih cepat dan lebih banyak.
3.
Manusia
dan makhluk hidup yang lain membutuhkan dunia untuk mengembangkan dan
melansungkan hidupnya
4.
Kegiatan
belajar/menyesuaikan diri itu berbagai macam cara mereka pergunakan. Adapun
tujuan belajar ada tiga macam, yaitu:
a.
Untuk
Mendapatkan Pengetahuan
b.
Penanaman
Konsep dan Keterampilan
c.
Pembentukan
Sikap
5.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi belajar ialah:
a.
Kemampuan
Pembawaan.
b.
Kondisi
Fisik Orang yang Belajar.
c.
Kondisi
Psikis Anak.
d.
Kemauan
Belajar.
e.
Sikap
Terhadap Guru, Mata Pelajaran dan Pengertian Mereka Mengenai Kemajuan Mereka
Sendiri.
f.
Bimbingan.
g.
Ulangan.
6.
Berdasarkan
hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yaitu:
a.
Connectionism.
b.
Classical Conditioning.
c.
Operant
Conditioning.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman
Shaleh, Psikologi Suatu pengantar dalam perspektif Islam, Jakarta:
Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2009.
Hasbullah
Thabrany, Rahasia Sukses Belajar, Jakarta: Penerbit Raja Grafindo
Persada, 1995.
Michael
J.A Howe, Memahami Belajar di Sekolah, Banda Aceh: Penerbit STKIP
Al-Washliyah & Yayasan Pena Banda Aceh, 2005.
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: Penerbit Raja
Grafindo Persada, 2006.
Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Penerbit
Remaja Rosdakarya, 2007.
Mustaqim,
Abdul Wahab, Psikologi pendidikan, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2003.
Sardiman, Intraksi dan Motivasi Belajar Mengajar,
Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada, 2007.
[1] Muhibbin Syah,
Psikologi Belajar, (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada, 2006), hal.
59.
[2] Abdul Rahman
Shaleh, Psikologi Suatu pengantar dalam perspektif Islam, (Jakarta:
Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 208-209.
[3] Hasbullah
Thabrany, Rahasia Sukses Belajar, (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo
Persada, 1995), hal. 9.
[4] Sardiman, Intraksi dan Motivasi Belajar Mengajar,
(Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 26-29.
[5] Michael J.A
Howe, Memahami Belajar di Sekolah, (Banda Aceh: Penerbit STKIP
Al-Washliyah & Yayasan Pena Banda Aceh, 2005), hal. 51.
[6] Muhibbbin
syah, Psikologi Belajar, (Jakarta:
Penerbit Raja Grafindo Persada, 2006),
hal. 144.
[7] Mustaqim,
Abdul Wahab, Psikologi pendidikan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2003), hal. 63-68.
[8] Muhibbin Syah,
Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Penerbit Remaja
Rosdakarya, 2007), hal. 105-110.
[9] Ibid.,
hal. 219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar