TASAWUF AKHLAKI MENURUT AL-QUSYAIRI
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi tiga; pertama,
tasawuf yang mengarah pada toeri-teori perilaku; kedua, tasawuf yang mengarahkan
pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam; ketiga,
tasawuf yang pendekatannya melalui hati yang bersih (suci) yang dengannya
seorang dapat berdiolog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan
(ma’rifat) dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap
lewat ilham.
Tasawuf yang berorientasi kearah pertama sering disebut sebagai
tasawuf akhlaki. Adapun tasawuf yang berorientasi kearah yang kedua
disebut sebagai tasawuf falsafi dan yang berorientasi kearah yang ketiga
disebut sebagai tasawuf irfani. Dan, yang akan menjadi pembahasan dalam makalah
ini adalah yang pertama yaitu tasawuf akhlaki termasuk salah satu tokohnya
yaitu Al-Qusyairi.
Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak
yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak
yang buruk), tahalli ( menghiasi dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli
(terbukanya dinding penghalang (hijab) ) antara manusia dengan Tuhan,
sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik Islam hingga
zaman modern sekarang sering di gandrungi orang karena penampilan paham atau
ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Tasawuf seperti ini banyak
berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negara yang dominan
bermazhab Syafi’i.
Pada mulanya, tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu
pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam menciptakan moral yang sempurna.
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:
1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasawuf jenis
ini, dalam pengamalan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan
Hadis sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya
pada konteks yang berada di luar pemahaman Al-Qur’an dan Hadis yang mereka
pahami, kalau pun harus ada penafsiran, panafsiran itu sifatnya hanya hanya
sekedarnya dan tidaka begitu mendalam.
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat
sebagaimana terdapat pada ungkapan-uangkapan syathatat.
Terminology-terminologi di kembagngkan tasawuf Sunni lebih transparan, sehingga
tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathatat. Walaupun
ada tema yang mirip syathatat, itu di anggapanya merupakan pengalaman
pribadi dan mereka tidak menyebarkannya kepada orag lain. Pengalaman yang
ditemukannya itu mereka anggap pula sebagai sebuah karamah atau eajaiban yang
mereka temui. Sejalan dengan ini, Ibnu Khaldun sebagaiana dikutip At-Taftazani,
memuji para pengikut Al-Qusyairi yang beraliran Sunni, karena dalam aspek ini
mereka memang meneladani para sahabat. Pada diri sahabat dan tokoh angkatan
salaf telah banyak terjadi kekeramatan seperti itu.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara
Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui
bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap
dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat
apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu
dengan Tuhan.
Al-Qur’an dan Hadis dengan jelas menyebutkan bahwa “inti” makhluk adalah
“bentuk lain” dari Allah. Hubungan antara sang pencipta dengan yang diciptakan
bukanlah merupakan salah satu persamaan, tetapi “bentuk lain”. Benda yang
diciptakan Allaha adalah bentuk lain dari penciptanya. Hal ini tentunya berbeda
dengan paham-paham filosofis yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan
keganjilannya. Kaum sufi Sunni menolak ungkapan-ungkapan ganjil seperti yang
disebutkan Abu Yazid al-Busthami dengan teori fana’ da baqa-nya,
Al-Hallaj dengan konsep hulul-nya, dan Ibnu Arabi dengan konsep dahwatul
wujud-nya.
4. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam
penegrtian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya)
dengan fiqh (aspek lahirnya). Hal ini merupakan konsekuensi dari paham diatas.
Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan
tetap berada pada posisi atau kedudukannya sebagi objek penerima
informasi dari Tuhan. Kaum sufi dari kalangan Sunni tetap memandang penting
persoalan-persoalan lahiriah-formal, seperti aturan aturan yang dianut oleh
fuqaha. Aturan-aturan itu bahkan sering di anggap sebagai jembatan untuk
berhubungan dengan Tuhan.
5. Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan
pengaobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah
takhalli, tahalli, dan tajalli.
Tasawuf akhlaki adalah taswuf yang berorientasi pada teori perilaku.
Tasawuf seperti ini ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak
dikembangkan dalam kaum salaf (salafi). Pada mulanya, taswuf ini
bercirikan untuk mengupayakan agar manusia memiliki moral atau akhlak yang
sempurna. Pada periode ini, para sufi telah melihat bahwa manusia adalah
makhluk jasmani dan rohani karena wujud kepribadiannya bukanlah
kualitas-kualitas yang bersifat material belaka, tetapi justru bersifat
kualitas-kualitas rohaniyah-spritual yang hidup dan dinamis.
Dalam tasawuf akhlaki ini akan di bahas mengenai salah seorang tokohnya,
yaitu Al-Qusyairi. Baik itu sejarahnya maupun perannya dalam dunai
tasawuf. Berikut ini akan di uraikan mengenai hal-hal tersebut.
a. Biografi singkat Al-Qusyairi
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari adad kelima Hijriah.
Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan
tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriah,
menyebabkan terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik
dari segi teoritis maupun secara praktis.
Nama lengkap Al-Qurairi adalah ‘Abdul karim bin Hawazin al-Qusyairi, lahir
tahun 376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu
pengetahuan pada masanya. Disini lah ia bertemu dengan gurunya, abu Ali
Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qurairi selalu menghadiri majelis gurunya
dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru
menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, dia
selalu mempelajari fiqih dari seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin
Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul
fiqih Abu Bakr bi Farauk (wafat tahun 406 H).
Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya
sedikit saja. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah
wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul
Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-Qusyairy. Pada al-Yamany,
ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Para penguasa negerinya sangat menekan beban
pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya
ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari
ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa
meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishak
al-Isfarayini (wafat tahun 418 H) dan menelaah banyak karya al-Baqillani.
Dari situlah Al-qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah Wal
Jama’ah yang dikembangkan al-Asyi’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela
paling tangguh dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah,
mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan keras dan
dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Thugrul Bek karena hasutan
seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rfidhah. Bencana yang
menimpa dirinya itu, yang bermula pada tahun 445 H, diuraikannya dalam
karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah
seorang yang mampu mengompromikan syari’at dengan hakikat. Dia wafat
tahun 465 H.
Sebagaimana telah disinggung diatas, Al-Qusyairi adalah seorang tokoh
yang terkemuka pada abad kelima Hijriyah yang cenderung mengadakan pembaharuan,
yakni dengan mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
merupakan ciri-ciri utama dari ajaran tasawuf sunni. Kedudukannya yang
demikian penting, menginget karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran
sunni pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah, yang membuat terpeliharanya
pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun
praktis. Menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusyairi adalah seorang tokoh yang mampu
“mengkompromikan syariat dengan hakikat”.
Dapat dikatakan, Al-Qusyairi terkenal karena ia menuliskan sebuah risalah
tentang tasawuf, yang diberi nama Ar-Risalah al-Qusyairiah. Sebenarnya, kitab
ini ditulis olehnya untuk golongan orang-orang sufi dibeberapa negara Islam
dalam tahun 473 H, kemudian tersiar luas keseluruh tempat kerena isinya
ditujukan untuk mengadakan perbaikan terhadap ajaran-ajaran sufi yang pada saat
itu telah banyak menyimpang dari sumber hukum Islam. Karya tulis Al-Qusyairi
yang paling terkenal dan hingga saat ini menjadi bahan bacaan wajib bagi para
peminat tasawuf adalah Risalah al-Qusyairiyyah fi’Ilm at-Tasawufi.
Al-Qusyairi adalah tokoh yang senantisa mengamalkan ajaran tasawuf,
sehingga dalam sebuah buku, Khamsyakhanuwi menyatakan bahwa terdapat
tokoh-tokoh sesudah abad ketiga Hijriyah yang walaupun sedah wafat mereka terus
meerus beramal dalam kuburnya seperti ketika masih hidup. Beberpa diantaranya
adalah Syeik Junaid al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bustami, Imam Syibli, Al-Qsyairi,
Asy-Syibani dan masih banyak sekali yang lain bahkan sampai beribu-ribu.
Pada permulaannya, diktrin-doktrin tasawuf di ajarkan melalui tanda-tanda,
sebagimana sekarang juga dilakukan terhadap bagian-bagian yang berisi
okultisme. Mereka yang sudah mahir akan mampu berbicara satu sama lain dengan
tanda-tanda, tanpa mengucapkan sebuah kata pun. Dzun Nun adalah orang yang
pertama kali merumuskan doktrin-doktrinnya melalui kata-kata. Junaid dari
Baghdad juga mensistematisasi hal yang sama. Abu Bakar Shibli adalah orang yang
menyerukan hal serupa dari mimbar masjid. Sebagaimana juga Socrates yang
menurunkan filsafatnya dari “langit” ke dunia. Hal serupa juga dapat ditemukan
pada karya tulis Abul Qasim al-Qusyairi dalam risalahnya: Risala-i-Qusyairiyah
fi ilm-ut-Tasawuf.
b. Pemikiran Al-Qusyairi
1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah
Seandaikan karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairi dikaji secara
mendalam, akan tampak jelas bagaimana dia cenderung mengembalikan tasawuf
ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah , sebagimana pernyatannya,
“ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharah
doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan
tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta
mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bias mewujudkan sifat
sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini,
Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang
baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun di dasarkan pada dalil dan
bukti yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri
bahwa barang siapa yang tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu
pengokohnya, niscaya membuat tergelincir kaki yang tertipu kedalam jurang
kehancurannya.”,
Secara implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap
para sufi syathahi yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya
perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan
sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bakan dengan konotasi lain,
secara terang-terangan Al-Qusyairi mengkritik mereka,
“Mereka menyatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan sebagai
belenggu dan berhasil mencapai realita-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan
(wushul). Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama Yang Maha Besar, dimana
hukum-hukum-Nya berlaku atas diri mereka, sementara mereka dalam keadaan fana.
Allah pun, menurut mereka tidak mencela maupun melarang apa yang
mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan rahasia-rahasia
keesaan dan setelah fana, mereka pun tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan,
tempat bergantung pada sesuatu….”
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena
kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara
tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan tindakan mereka.
Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran
dan As-Sunnah, lebuh penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagimana perkatannya.
“Duhai saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah
maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika
hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi
yang megada-ada dalam berpakaian - setiap tasawuf yang tidak dibarengi
dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta
memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan lahir
adalah keliru dan bukannya yang batin… setiap tauhid yang tidak
dibenarkan Al-Qur’an maupun As-sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan
tauhid; setiap pengenalan terhadapa Allah yang tidak dibarengi kerendahan hati
maupuin kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.”
2. Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-Qusyairi
mengemukakan suatu penyimpangan lain dari pada abad kelima Hijriah,
“Kebanyakan para sufi yang
menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas
mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas
mereka.”
Kemah itu hanya serua kemah mereka.
Kaum wanita itu, kulihat, bukan mereka.
Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah
menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi
panutan mereka. Tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan
dan kehidupan mereka. Sirnalah kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan
hidup. Ketamakan semaki menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah
kehormatan harga dari kalbu. Betapa sedikit orang-0orang yang berpegang teguh
pada agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka
cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan membuang jauh
rasa mau. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan ibadah , melecehkan puasa
dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan.dan mereka jatuh dalam pelukan
nfsu suahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak
diperbolehkan…….”
Pendapat Al-Qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun
masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya
mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau
dari segi-segi moral dan tingkah laku.
Oleh karena itu pula, Al-Qsyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya
karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia
tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan
mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu,
menurutnya, sekedar “pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada
masanya.
Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan
doktrin ahlu al-sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga
dan keempat Hijriyah. Dia menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan
adanya perpaduan antara sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qodim-Nya, dan
sifat-sifat kemanusiaan khususnya sifat hadis-Nya. Dari sini jelaslah bahwa
Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi
pada aliran yang sama yaitu Al-Asy’ariyayah, yang nantinya akan merujuk paada
gagasan Al-Qusyairi.
Dari uraian diatas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, munurut
Al-Qsyairi harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang
dalam hal ini ialah dengan mengikuti para sufi Sunni pada abad-abad
ketiga dan keempat Hijriah yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi
kedatangan Al-Ghazali, yang dirafiliasi pada aliran yang sama , yaitu
Al-Asy’ariyah yang nanti akan merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan
yang dilalui Al-Muhasibimaupun Al-Junaid, secara melancarkan kritik keras
terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang ganjil.
Selian dari kedua hal diatas, Al-Qusyairi juga memberikan
pandangannya kepada beberapa istilah yang ada dalam tasawuf, seperti fana’ dan
baqa’, wara’, syari’at dan hakikat:
a. Baqa’ dan Fana’
Dalam struktul ahwal, yaitu mengenai fana’ dan baqa’,
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa fana’ adalah gugurnya sifat-sifat
tercela,sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.
Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak
adalah sifat-sifat terpuji. Sebalikya, apabila yang dominan adalah sifat-sifat
tercela maka sifat-sifat terpuji akan tertutupi. Jika seorang individu
secara terus-menerus membersihkan diri dengan segala upayanya, maka Allah
akan memberikan anugerah melelui kejernihan perilakunya, bahkan dengan
penyempurnaan tingkah laku tersebut.
b. Wara’
Pemikiran Al-Qusyairi yang lain adalah wara’, menurutnya wara’
merupakan usaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu
yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ adalah suatu
pilihan bagi ahli tarekat.
c. Syari’at dan Hakikat
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan hakikat; hakikat itu adalah
penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ke-Tuhanan dengan mata hatinya.
Sedangkan syari’at adalah kepastian hokum dalam ubudiyah,sebagai
kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam bentuk
kaifiyah lahiriah antara manusia dengan Allah SWT.
Tasawuf sebagi suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad
ke dua Hijriah hingga saat ini tentu mmengembangkan bahasa khusus yang hanya
bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi.
Misalnya istilah “syari’at” bagi para sufi pengertiannya selalu di
hubungkan dengan “halikat”. Maka menurut kacamata para sufi syari’at hanya
diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal dari
pada agama. Jadi, tingkah laku batin seperti kekhusyukan jiwa dalam ibadah
dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukkan
dalam istilah syari’at. Oleh karena itu, imam Al-Qusyari dalam risalahnya
mengatakan:
“Maka setiap syari’ah tidak di dukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan
setiap hakikat yang tak terkait dengan dengan syari’at tentu tidak ada
hasilnya.” Syari’at dalam pengertian para sufi tidak termasuk laku batin.
Laku batin itu khusus milik kaum sufi.
Dalam ajaran tasawuf atau kebatinan, hati manusia di percayai punya
kemampuan rohani dan menjadi alat sAtu-satunya untuk ma’rifat pada Dzat
Tuhan dan untuk mengenal sifat rahasia alam gaib. Dalam hal ini,
Al-Ghazali menjelaskan bahwa Dzat Tuhan itu sebenarnya terang benderang. Hanya
karena terlalu terang maka tak tertangkap oleh mata manusia. Mata
manusialah yang tak mampu menangkap Dzat Tuhan. Dalam hal ini, Al-Risalah
al-Qusyairi lebih memperinci lagi. Dia menyatakan bahwa di dalam qalbu terdapat
ruh dan sir. Seterusnya sir dikatakan sebagai tempat menyaksikan atau gaib, dan
ruh merupakan tempat mencintai Tuhan dan qalbu adalah tempat untuk ma’rifat kepada
Dzat Tuhan.
Karangan Al-Qusyairi yakni Risalah Qusyairiyah juga
memperngaruhi cara berfikir dari al-Ghazali dalam menyatakan alasannya, banyak
sekali di temukan ucapan-ucapan Ibn Adham, Tustari, Muhasibi, terutama Abu
Thalib al-Maliki (w.386M), pengarang Qutul Qulub dan Ibnu Hawazan al-Qusyairi
(w. 465 H) pengarang Risalah Qusyairiyah (tokoh dalam bahasan ini), kedua
pengarang dari kitab-kitab sufiyah yang sangat mempengaruhi cara berfikir
Al-Ghazali, begitu juga perkataan Nabi Isa, Musa dan Daud sera Nabi-nabi yang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. 2009. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada Jakarta.
Siregar, Rivay. 1999. Tasawuf dari Sufisme
Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Jakarta.
Anwar, Rosihon. 2010. Ahklak Tasawuf. Bandung
: CV. Pustaka Setia.
Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya
Dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar